Iwan Setyawan photo

Iwan Setyawan


“Hidup adalah perjalanan untuk membangun rumah untuk hati. Mencari penutup lubang-lubang kekecewaan, penderitaan, ketidakpastian, dan keraguan. Akan penuh dengan perjuangan. Dan itu yang akan membuat sebuah rumah indah.”
Iwan Setyawan
Read more
“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat”
Iwan Setyawan
Read more
“Sing sabar sik. Sing sabar," kata Ibuk menghibur Bapak.”
Iwan Setyawan
Read more
“Sing sabar ae. Rejeki nggak datang hari ini tapi insya Allah akan datang besok," kata Ibuk sambil mengunci lemari makan di dapur.”
Iwan Setyawan
Read more
“Akan kulanjutkan kembali tulisan tentang Ibuk. Tentang kekokohan keluarga Bapak. Orang-orang yang melihat kemiskinan bukan sebagai penderitaan tapi titik awal sebuah perjuangan.”
Iwan Setyawan
Read more
“Di kamar kecil ini. Di kota kecil ini. Aku tak hanya menemukan secuil kedamaian tapi juga kesegaran baru dalam hidupku. Menulis. Menulis dalam kesunyian.”
Iwan Setyawan
Read more
“Dari kejauhan, aku menemukan diriku. Aku menemukan sedikit makna perjuangan hidup yang pernah kutakuti. Di luar sana, aku mencoba menembus batas ketakutan.”
Iwan Setyawan
Read more
“Kadang perpisahan bisa membuat mata kita menjadi segar lewat air mata, hati menjadi peka lewat gelombang besar yang menerpa, dan menumbuhkan cinta yang lebih besar lewat orang-orang yang menyentuh hidup kita. Hidup semakin luas.”
Iwan Setyawan
Read more
“Sepuluh tahun aku berkelana menjelajahi hidup di negeri seberang. Jauh di seberang. Aku meninggalkan hatiku di kota kecil ini demi cinta. Dan dari seberang sana juga aku menemukan cinta. Aku menemukan diriku.”
Iwan Setyawan
Read more
“Dunia ini memang semakin rumit. Semakin maju, tapi juga semakin banyak kegelapan. Semakin kotor. Semakin susah menemukan cinta yang tulus. Apalagi menjaga kebersihan hati.”
Iwan Setyawan
Read more
“Menulis pun kadang bisa menusuk ulu hati seperti sekarang ini. Membuat detik-detik waktu yang berjalan di masa lalu berdetak lebih kencang. Lonceng waktu seakan berdentang kembali, membangunkan kesadaran dengan keras.”
Iwan Setyawan
Read more
“Sampai di sini, air mataku mengalir. Tak hanya mengalir, aku bahkan menghujan. Kenangan mereka berembus kencang menghantam pagi menjelang siang di kamarku. Sendiri. Kumatikan televisi yang dari tadi memang tak kulihat. Hujan mengempas kota kecil ini. Membuat pagi semakin melankolis. Angin berembus, menyibak korden putih yang tipis. Aku tak kuasa lagi meneruskan tulisanku.”
Iwan Setyawan
Read more
“Berapa pun uang yang kamu miliki, jangan pernah berlebihan. Nabung! Kamu bisa jatuh sakit. Harus ke dokter dan itu tidak murah. Hidupmu tidak hanya untuk sekarang saja. Hidupmu masih panjang," pesan Ibuk yang tidak mempunyai rekening di bank.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ah, semuanya. Semuanya. Hidup penuh dengan keprihatinan. Tidak mudah dimengerti oleh anak-anak tapi Ibuk ingin menyelamatkan mereka. Hidup dengan kesederhanaan untuk masa depan keluarga.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ibuk dan Bapak hampir tak pernah membeli baju Lebaran untuk mereka sendiri. Yang penting anak-anak bisa tersenyum dan mendatangi kerabat dengan bangga. Agar mereka sama dengan anak-anak lain. Ibuk dan Bapak baru membeli baju baru ketika ada rezeki lebih. Kadang hanya tiga tahun sekali.”
Iwan Setyawan
Read more
“Tak ada foto tapi kenangan itu melekat erat.”
Iwan Setyawan
Read more
“Keindahan berbagi yang akan dibawa anak-anak ketika dewasa. Bukan hanya nasi goreng, mereka juga berbagi hati.”
Iwan Setyawan
Read more
“Biar anak-anak Ibuk seperti anak-anak yang lain, janji Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Bapak dan Ibuk tidak pernah memiliki atau berkeinginan membeli sepatu. Mereka ingin membeli sepatu tapi buat apa? Untuk ke kondangan mereka cukup memakai sandal. Ah, semua demi anak-anak.”
Iwan Setyawan
Read more
“Melihat kalian sehat seperti ini adalah segalanya bagi Ibuk," lanjutnya.”
Iwan Setyawan
Read more
“Setiap kali melihat anak yang sakit, hati Ibuk seperti jatuh," kata Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ah, Ibuk! Kau adalah hijau pepohonan yang menutupi kegersangan. Napas buat kehidupan.”
Iwan Setyawan
Read more
“Agar hidupmu tidak sengsara sepertiku, Nak. Aku tidak lulus SD. Tidak bisa apa-apa. Hanya bisa memasak saja. Jangan sepertiku ya, Nak. Cukup aku saja yang tidak sekolah. Itu yang selalu Ibuk katakan di hadapan anak-anaknya.”
Iwan Setyawan
Read more
“Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik, untuk anak-anaknya. Agar anak-anaknya tidak melalui jalan hidup yang sama dengan jalan hidup yang telah ia lalui dahulu.”
Iwan Setyawan
Read more
“Aku melintasi kehidupan dan kala. Aku berlayar menembus senja. Kuberanikan diri menulis untuk mengabadikan momen hidup dalam lembaran kertas. Sekali lagi, dengan segala kemampuan yang aku punya. Kau lihat, betapa sederhana tulisanku. Sekali lagi, aku hanya ingin mengabadikan sebuah momen hidup dalam lembaran kertas ini. Sebagai suatu museum kehidupan.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman. Jika suatu peristiwa telah pergi, kau tahu, ia tak akan hilang begitu saja. Jika dulu ada tawa, gaungnya masih bisa masih bisa kau dengar di sana. Jika dulu ada air mata, kau masih bisa membasuhnya dengan tanganmu di sana, sekarang. Jika aku mati, kenangan itu akan hidup.”
Iwan Setyawan
Read more
“Dalam Genggamanmu, IbukBuku baru. Sepatu baru. Sekolah baruUntuk anak-anakmuAgar mereka merekahKau bangun jembatan agar mereka tak melalui kali yang keruhKau gendong jiwa mereka agar selalu hangatKau nyalakan lentera hati mereka...Malam minggu kemarin. Kau tak hanya berjanji.Kau berikan napasmuKau genggam anak-anakmu. Kau genggam erat.Di tanganmu yang halus, kau pastikanMereka tidak terjatuh...”
Iwan Setyawan
Read more
“Ibuk belum sempat bilang apa-apa. Tak terucap terima kasih tapi wajahnya penuh syukur.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ibuk dan Bapak tak pernah menentukan aturan kapan dan berapa lama anak-anak harus belajar. Isa dan adik-adiknya telah membuka hati mereka sendiri. Membuka buku mereka sendiri. Ibuk dan Bapak telah bekerja sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan sekolah mereka. Mungkin, anak-anak ini melihat kesungguhan hati orangtua mereka yang telah berjuang tak kenal lelah untuk lima anaknya. Mungkin, anak-anak ini telah merasakan keringat bapaknya menetes di kulit mereka. Mungkin, cinta Ibuk telah memasuki darah mereka, lewat bubur beras merah dan sinar matanya yang syahdu. Mungkin, anak-anak ini tersentuh oleh hidup Bapak dan Ibuk yang sederhana dan penuh keprihatinan. Isa dan adik-adiknya ingin berjuang seperti mereka. Ingin memberikan cinta yang penuh kepada orangtuanya.”
Iwan Setyawan
Read more
“Nduk, sekolah nang SMP iku mesti. Koen kudu sekolah. Uripmu cek gak soro koyok aku, Nduk! Aku gak lulus SD. Gak iso opo-opo. Aku mek iso masak tok. Ojo koyok aku yo Nduk! Cukup aku ae sing gak sekolah...," kata Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Ya, seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat! Buatlah pijakanmu kuat. Kita beli sepatu baru kalau ada rejeki," hibur Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Dunia ini akan menjadi rumit tapi kebersamaan seperti itu, cinta yang hangat seperti itu, akan membuat semuanya sederhana.”
Iwan Setyawan
Read more
“Perjuangan hidup tak akan pernah mudah dengan lima anak ini tetapi Ibuk dan Bapak bertekad untuk berlayar dengan gagah. Buat anak-anaknya.”
Iwan Setyawan
Read more
“.... Makanya semoga ada rejeki ya. Jadi kita bisa makan empat sehat lima sempurna tiap hari," tutur Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Cintanya, terbisikkan lewat nasi goreng terasi. Lewat tatapan mata yang syahdu. Lewat daster batik usangnya. Ah, begitu perkasa. Lima buah hati di tangan satu perempuan yang penuh cinta dan ketulusan.”
Iwan Setyawan
Read more
“Mereka sudah di tangannya dan Ibuk memberikan apa pun yang ia miliki untuk mereka. Dengan hatinya. Mereka sudah ada dalam genggamannya dan Ibuk tak akan membiarkan mereka terjatuh. Begitu tekadnya.”
Iwan Setyawan
Read more
“Sebuah pesta kehidupan yang dipimpin oleh seorang perempuan yang sederhana tapi perkasa. Seorang perempuan yang mungkin melahirkan anak tanpa rencana, namun yakin bahwa setiap anak datang membawa berkah.”
Iwan Setyawan
Read more
“Mandi dengan air hangat adalah kebahagiaan tersendiri di tengah kabut dingin yang menyelimuti pagi.”
Iwan Setyawan
Read more
“Rumah begitu sedih tanpa senyum Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Bau bayi itu menyembuhkan, kata Ibuk.”
Iwan Setyawan
Read more
“Melahirkan itu seperti berdiri di ambang batas kehidupan dan kematian.”
Iwan Setyawan
Read more
“Tak ada janji yang terungkap dari mulut mereka. Tapi hati mereka telah berikrar untuk mencintai satu sama lain, dengan sederhana. Mereka tidak saling memberikan harapan tapi mereka akan memperkuat satu sama lain.”
Iwan Setyawan
Read more
“Nah... Kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua...," lanjutnya terbata-bata.”
Iwan Setyawan
Read more
“Maukah Kau Hidup Susah Denganku”
Iwan Setyawan
Read more
“Aku ingin lihat kamu senang!" kata Sim sebelum meninggalkan Tinah.”
Iwan Setyawan
Read more
“Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka pintu hati.”
Iwan Setyawan
Read more
“Impian harus menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak”
Iwan Setyawan
Read more
“Menulis kembali kenangan masa lalu butuh sebuah keberanian.”
Iwan Setyawan
Read more