“Waktu itu semua sudah tidak ada yang bisa kuingat. Karena waktu itu kata-kata sudah seakan tidak berarti lagi. Yang ada di memoriku hanyalahwarna pekat. Kucari warna-waran lain , tidak pernah ada. Bahkan putih pun sudah seperti jelaga.”
“...waktu sudah membekukan lidahku untuk meratap.”
“Mereka bagaikan mata-mata pena yang menari di atas lemabaran kertas yang sama, lembaran kertas hitam. Dan hanya keberuntungan yang bisa membuat kertas itu menjadi abu-abu, karena tidak mungkin membuatnya menjadi putih bersih. Jejak hitam itu tetap ada di jalan hidup mereka. Bagi anak-anak seperti mereka, hidup benar-benar seperti mata dadu di meja judi.”
“Apa yang harus kuseru jika lidah tertikam sepi yang enggan beranjak, kecuali mengadu pada lamunan "nadaku sumbang, suaraku pincang. Ini bukan lagu yang kumau.”
“Aku belajar bicara pada hening. Karena sepi sudah akrab denganku. Kematian menciumku, maka merah flamboyan tak cukup terang nyalakan mataku. Padahal denyar belum usai. Kuku kisruh masih mencakar-cakar."Andai semua makhluk yang bernapas bisa berterima kasih kepada kesalahan," begitu katamu. "Kamu baik, hormat, dan sayang padaku, dari dulu, sekarang, dan semoga selamanya. Aku bisa mati tanpamu," jawabku pada kabut.”