Soe Tjen Marching photo

Soe Tjen Marching

Soe Tjen Marching (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 23 April 1971; umur 39 tahun) adalah seorang Indonesianis, penulis, dan feminis. Ia memperoleh gelar Ph.D.nya dari Universitas Monash, Australia dengan menulis disertasi tentang otobiografi dan buku harian perempuan-perempuan Indonesia. Ia telah diundang sebagai dosen tamu di berbagai Universitas di Australia, Britania dan Eropa.

Soe Tjen banyak menulis artikel di berbagai suratkabar Indonesia maupun asing, cerita pendek, dan juga membuat komposisi musik. Ia pernah memenangi beberapa kompetisi penulisan kreatif di Melbourne - Australia. Salah satu cerita pendeknya telah diterbitkan oleh Antipodes, sebuah jurnal sastra terkemuka di Amerika Serikat. Selain itu, ia juga seorang komponis penting di Indonesia, yang karya-karyanya telah dipagelarkan di Asia, Australia, Eropa dan Amerika. Sebagai seorang komponis, ia pernah memenangi kompetisi tingkat nasional di Indonesia pada 1998. Sebuah komposisinya, "Kenang" (2001) diterbitkan sebagai bagian dari sebuah CD, "Asia Piano Avantgarde: Indonesia" yang dimainkan oleh pianis tersohor dari Jerman, Steffen Schleiermacher. CD ini telah beredar di Amerika dan Eropa. Pada Juni 2010, karya musiknya memenangkan kompetisi Internasional avant-garde yang diadakan di Singapura.

Novel Soe Tjen, berjudul Mati Bertahun yang Lalu, diterbitkan oleh Gramedia pada akhir tahun 2010. Novel ini diilhami oleh pengalaman pribadi Soe Tjen terjangkit kanker 3 kali.

Soe Tjen Marching juga sering bekerja sama dengan suaminya, Angus Nicholls, seorang peneliti sastra Jerman di Queen Mary University of London.


“Bayangkan, memberi barang pakai tangan kiri saja tidak boleh, apalagi berpikiran dan berjiwa kiri! Tambah nggak boleh lagi.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Setiap pagi, Mama merengkuhnya sambil berbisik di telinga: "Hiduplah Sara. Jangan menyerah" seolah ia tidak saja sedang menyalurkan suaranya pada telinga itu, tapi juga jiwanya. Ia menjadi litani yang berulang tanpa hentiHiduplah, Sara. Hiduplah...Namun suara-suara lain yang hidup. Kokok ayam, adzan menggelegar, disusul dengan gesekan sepatu di aspal, motor dan klaksin yang bertambah keras menggantikan litani yang makin sayup dan kemudian lenyap.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Bagi manusia hidup, masa lalu adalah bagian dari mereka sekarang. Karena itu, masa lalu sebenarnya tidak pernah lalu, karena selalu menjadi bagian masa depan. Namun bagiku, ia hanyalah sekumpulan kisah di mana aku adalah pemeran utamanya.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Ketiadaan adalah ada. Karena bila ketiadaan adalah tiada, maka ia tak perlu lagi disebutkan, dikatakan, atau digambarkan.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Ia menceritakan kisah tentang surga, di mana para manusia yang saleh dapat hidup dengan nikmat, senikmat-nikmatnya. Mereka bisa mendapat makanan dan minuman berlimpah, bidadari yang cantik-cantik (jadi, para bidadari tidak bisa menikmati surga karena mereka cuma budak seks di sana).”
Soe Tjen Marching
Read more
“Tuyul ini adalah makhluk halus--ia sudah mati tapi tampak hidup seperti anak normal. Hanya ia tidak bisa besar. Ia berada di alam kanak-kanak selamanya. Waduh, kan kayak Peter Pan?”
Soe Tjen Marching
Read more
“...hidup seringkali dipenuhi dengan orang-orang yang berjalan dalam tidur, yang sebenarnya sudah tak menginginkan hidup itu lagi, namun mereka tidak tahu pilihan yang lain.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Begitu cintanya mereka pada hidup. Hingga orang mati pun tidak diperkenankan tampil sebagai mayat.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Demi hidup, segala upaya harus dilakukan. Termasuk menyiksa tubuh manusia.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Setahuku, Papa tidak benci hidup. Dia tidak pernah membenci hidup. Tapi hiduplah yang membenci dia. Papa selalu meminta hidup untuk bersamanya dengan menggapai-gapai tumpukan pil dan masker oksigen. Bahkan ketika hidup akan meninggalkannya.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Akhirnya mereka semua diam bukan karena tidak mau ribut-ribut di depan orang mati, tapi karena ada makhluk di dekat yang tak bernyawa, yang bisa sesenggukan.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Mayat Papa dijadikan rebutan. Padahal sewaktu hidup, jarang yang menggubris dia.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Rupanya adat itu seperti bahasa. Ia diciptakan manusia dan kemudian ganti menciptakan mereka, sehingga akhirnya manusia harus menurut pada calo adat, ahli adat yang bisa menyuruh-nyuruh manusia.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Bagi sel-sel ini, manusia layaknya alam semesta yang tak terjangkau, yang tak teraih, tak terlihat, tak dapat dipahami. Namun mereka dengan setia menjadi bagian dari kita, dan bekerja sama dengan seluruh milyaran sel lain demi hidup kita.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Bila hidup adalah guru, aku seperti murid yang tak mampu menjawab pertanyaannya di depan kelas. Yang kuinginkan adalah menghilang, menghilang, menghilang dari tatapan murid lain yang mengejek. Lenyap dari segala pandangan mereka”
Soe Tjen Marching
Read more
“Berdekatan dengan mereka selalu mengingatkanku pada kejaran pertanyaan "Mana suaminya? Mana anaknya?". Aku sendiri tidak penting. Bagi mereka, mempunyai suami dan anak jauh lebih penting dari diriku. Aku memang sudah mati sebelum mati.”
Soe Tjen Marching
Read more
“mereka begitu sibuk mengecat kembali rumah-rumah yang warnanya telah pias dan mewarnai kain dengan sumba yang kental. Baju-baju yang warnanya pudar dibuang, diganti dengan yang lebih mencerang. Mungkin kepiasan mengingatkan mereka pada kematian. Karena itu, ia harus dihindari.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Lalu, apa hidup mereka bahagia setelah diselamatkan?" tanyaku."Tentu saja Mbak, kan mereka sudah selamat.""Apa mereka pasti bahagia hanya karena bisa hidup?""Saya yakin mereka akan menikmati hidup dan bersyukur karenanya.""Kok tahu?”
Soe Tjen Marching
Read more
“Orang yang mati disebut pergi. Sedang aku belum pergi. Aku masih di sini. Tapi sungguh, aku sudah mati.”
Soe Tjen Marching
Read more
“kulihat kepulan hidupku yang terakhir, mendekati. Inilah kelebihan orang mati--ia bisa melihat wujud hidup.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Ketuaan adalah sebuah proses, bukan lompat tinggi. Dan kalau kita bertambah tua, dan bertambah dekat dengan liang lahat, mengapa harus dirayakan dengan nyanyian panjang umurnya?”
Soe Tjen Marching
Read more
“dan aku terkadang lupa untuk pura-pura hidup. Tubuhku terdiam. Denyutku hilang. Aku tidak bergerak sama sekali. Tapi, setelah terdiam beberapa lama, si kembar mulai menusuk-nusuk tubuhku dengan jari mereka, mengingatkan aku untuk berpura-pura hidup lagi”
Soe Tjen Marching
Read more
“Mengapa kesatu harus disebut pertama? Tapi, tidak ada kata lain untuk kedua, ketiga dan seterusnya. Mengapa kata "satu" harus dibedakan?Kata berdua, bertiga, berempat adalah untuk menyatakan jumlah orang sesuai dengan akar kata yang terlibat.....Tapi bersatu memberi arti lain-bersatu justru menunjukkan tidak ada satu orang yang terlibat. Kalimat "kita bersatu di sana" justru maksudnya tidak hanya satu orang, tapi banyak orang yang bersama. Satu yang banyak.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Salah seorang menyempatkan menyapa: "Kamu kok pucat?"Tolong...aku mayat yang tersasar. Di dunia kehidupan.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Aku merapikan semua kertas-kertas dan alat tulisku yang berceceran. Aku sudah mati, tapi masih melakukan segala rutinitas ketika masih hidup.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Percayalah, bila kamu tidak dapat mengalihkan perhatian pada hal lain yang fana..., dan hanya memikirkan kehidupan itu sendiri, kamu akan gila: karena ia akan mengalahkan dan merendahkanmu secara perlahan.”
Soe Tjen Marching
Read more
“Kebanyakan orang dapat bertahan hidup hanya jika mereka dapat melupakan realitas ini dan memusatkan diri ke yang lain: ke karier mereka, ke investasi, gelar, anak atau apa saja yang terlihat bertambah banyak.”
Soe Tjen Marching
Read more