“Waktu itu, kami tidak punya banyak, tetapi kami memiliki masing-masing (Ainun Habibie”
“Kami berdua suami istri dapat menghayati pikiran dan perasaan masing-masing tanpa bicara. Malah antara kami berdua terbentuk komunikasi tanpa bicara, semacam telepati. Tanpa diberi tahu sebelumnya, sering kali karena tidak sempat, kami masing-masing dengan sendirinya melakukan tepat sesuatu yang diinginkan yang lainnya. Saya membuat masakan yang persis suami saya butuhkan tetapi saya lupa untuk menitipkan padanya sewaktu berangkat pagi. Hidup berat, tetapi manis. (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama)”
“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang dan saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak? Seimbangkah orangtua kehilangan anak dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu. (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama)”
“Waktu itu, saya kelas tiga SMA dan Ainun masih kelas dua SMA. Aiunun duduk-duduk bersama "gengnya" yang cantik-cantik. Entah bagaimana, saya tiba-tiba mendatangi "geng" itu, lalu berkata kepada Ainun, "Hey, kamu itu kenapa jelek ya? Hitam lagi." Lalu, saya pergi. Pasti Ainun saat itu jengkel sekali. Kenapa? Mungkin ia berpikir saya kurang ajar. Padahal mungkin secara tidak sadar, saya tertarik kepada Ainun, tetapi saya mengekspresikannya dengan cara lain karena saya tidak terlalu berani mengatakan kalau saya suka dia.”
“Sebagai perempuan Indonesia yang lama tinggal di Jerman, mendiang Ibu Ainun merupakan inspirasi bagi saya, juga bagi banyak perempuan Indonesia di Eropa. Penampilannya sederhana namun sempurna. Mengurus rumah tangga sendiri, masak sendiri, mendorong suami berkarier, bahkan kadang menyopiri ke kantor, mengantar anak-anak sekolah, merawat ketika sakit, membesarkan mereka hingga mengantarkan mereka menjadi orang-orang sukses.”
“A little things mean a lot,banyak hal kecil yang sesungguhnya berarti. Itu yang saya pahami sehingga saya tidak pernah (merasa) berharap lebih dari kewajaran.”
“Dulu kami tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukan masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar”