“Waktu itu, saya kelas tiga SMA dan Ainun masih kelas dua SMA. Aiunun duduk-duduk bersama "gengnya" yang cantik-cantik. Entah bagaimana, saya tiba-tiba mendatangi "geng" itu, lalu berkata kepada Ainun, "Hey, kamu itu kenapa jelek ya? Hitam lagi." Lalu, saya pergi. Pasti Ainun saat itu jengkel sekali. Kenapa? Mungkin ia berpikir saya kurang ajar. Padahal mungkin secara tidak sadar, saya tertarik kepada Ainun, tetapi saya mengekspresikannya dengan cara lain karena saya tidak terlalu berani mengatakan kalau saya suka dia.”
“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang dan saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak? Seimbangkah orangtua kehilangan anak dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu. (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama)”
“Saya memang suka pada topi-topi serta benda-benda yang cantik, tapi saya tidak boleh menggadaikan masa depan saya untuk membeli barang-barang seperti itu.”
“Pada masa itu sering saya menjawab pertanyaan yang kadang-kadang diajukan kepada saya, "Mengapa Saudara menjadi pengarang?" dengan, "Karena saya tak dapat bekerja lain. Kalau saya bisa jadi importir atau eksportir, tentu saya akan menjadi importir atau eksportir.”
“Saya selalu mengira laki-laki seperti kamu pasti sering ngebullshit dengan mengucapkan kata cinta kepada siapa aja, bahwa kata itu tidak berarti untuk kamu, tidak seperti untuk saya.”
“Saya akan pikul rahsia itu jika engkau percayakan kepada saya dan saya akan masukkan ke dalam perbendaharaan hati saya dan kemudian saya kunci pintunya erat-erat. Kunci itu akan saya lemparkan jauh-jauh sehingga seorang pun tak dapat mengambilnya kedalam lagi.”