“Dulu, dipikirnya akan sangat mudah untuk menyisihkan penghasilannya dan mencicil utang sekolahnya. Tapi, eksekusi tidak semudah rencana. Kehidupan berjalan dan mengubah rupa menjadi sangat serius.”
“Harapan yang dulu juga pernah ia perjuangkan untuk bisa hidup dan berdiri.”
“Ia merasa kesepian, padahal seharusnya tidak perlu merasa demikian karena stok teman-temannya yang banyak dan beraneka ragam pastilah akan mampu membuat keramaian seketika. Tapi, kali ini ia sungguh dilanda rasa sepi. Ada rasa rindu menyeruak. Rindu yang tidak tahu ditujukan untuk siapa.”
“Tak apa.... Demi semua ilmu yang telah diserapnya dari bangku kuliah dan kepingan pengalamannya, demi pembentukan karakter diri. Ia merasa semua itu adalah tanggung jawab pribadinya atas sebuah impian hidupnya. Harga yang harus ditukarnya dengan sebuah pengalaman duduk di bangku kuliah dan sejuta pengalaman berharga lainnya. Utang yang harusnya bukan menjadi beban, tapi "investasi" hidupnya. Ia sadar, ada sebuah harga yang harus dibayar untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas pemikiran dan emosi, aktif, berprestasi, dan andal.”
“Tapi, tenangkah saat impiannya sebentar lagi akan ia genggam? Ternyata tidak. Butuh sebuah strategi karena hidup bersama utang akan membuat siapa pun di dunia ini mengalami keresahan yang luar biasa. Apalagi kalau mengingat umur yang tidak pernah tahu kapan akan berakhir.”
“Tar, jangan lupa... usaha yang terbaik selalu ada aja ganjarannya. Gue yakin, akan banyak jalan yang terbuka ketika nanti lo teguh akan niat lo. Jumlah 54 juta adalah besar bagi kita, tapi di mata Dia? Ini masalah sepele, semudah lo membuka dan menutup mata. Jadi jangan lupa, berdoa yang sama kerasnya dengan usaha yang akan lo lakukan....”
“Telat masuk, telat keluar, tapi paling tidak ia tidak terlalu terlambat untuk meraih impiannya menjadi sarjana di tengah kondisi karut-marut ekonomi keluarganya. Karenanya, ia tak mau lagi merasa menjadi orang yang telat dalam mendulang kesempatan.”