“Dan aku bertanya: apakah yang sanggup mengubah gumpal luka menjadi intanYang membekukan air mata menjadi kristal garam?Sahabatku menjawab: WaktuHanya waktu yang mampu”
“Kalau bebas sudah jadi keharusan, sebetulnya bukan bebas lagi, ya?" cetus Mei kalem”
“Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial! serunya gemas, "Aku malu kepada diriku sendiri, kepada semua orang yang sudah kujejali dengan kegomalan Ben's Perfecto."Gombal? Aku positif tidak mengerti."Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?" katanya dengan tatapan kosong, "Pak Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!" Filosofi Kopi”
“Keluar dari sini, aku berharap bisa berbahagia untuk Ibu. Untuk Pak Ridwan. Untuk Hara. Untuk diriku sendiri karena keluargaku sudah ada yang mengayomi. Namun, sejenak saja di sekat kecil wartel ini, aku ingin menangis untuk Ayah. Untuk ketiadaannya. Untuk rumah mungil kami yang sebentar lagi tidak berpenghuni. Untuk lembar lain sebuah masa.”
“aku gak mau sepuluh, dua puluh tahun dari hari ini, aku masih terus-terusan memikirkan orang yg sama. bingung di antara penyesalan dan penerimaan.”
“Aku hanya si penunggu yang beruntung.”