“Cinta? Itu mungkin hanya sebentuk permainan. Bermain itu memang mengasyikan. Cinta itu arena bermain, membutuhkan permainan, tapi bukan dipermainkan. Cinta yang harus diselesaikan. Dan menyelesaikan.”
“seharusnya cinta itu membawa manusia kepaa cinta yang lebih besar, iaitu cinta Tuhan. disinilah terletaknya falsafah cinta. ia mesti berakhir dengan redha dan kasih sayang Allah. ia mesti dinoktahi dengan Syurga. jika rasa cinta itu hanya mendorong kepada maksiat, itu bukan cinta. itu hanya dusta.”
“Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu semua gue kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue ngerasa kosong, dan gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi sama segala sesuatu yang sifatnya material. Kekosongan itu harus diisi dengan... cinta.”
“Rasa cinta itu kadang semakin jernih ketika kita harus terpisah. Rasa cinta itu bisa tumbuh subur di tempat yang asing dan jauh. Rasa cinta itu tumbuh lewat jalan yang berliku, lewat kegelapan dan air mata. Rasa cinta yang seperti itu sejatinya akan menjadikan kita kuat.”
“Adakalanya marah itu bukan marah, benci itu bukan benci. Hanya cinta yang diungkapkan dengan cara berbeda.”
“Sekarang gue sudah mengerti bahwa bentuk cinta yang gue mau berarti pengorbanan, bukan permintaan. Cinta itu harus diberi dengan rela dan terbuka.”