“LangitBagaimana akan kueja asmaraJika membaca rasa saja aku masih tak cukup kuasaBagaimana aku harus menakar hatiJika hatinyapun tak pernah pastiLalu sepi selalu saja mengajakku berbagiMenyudutkan pada gerilya mimpi yang tak bertuanSendiriku kembali”
“Aku sadar aku tak pernah gemar membaca, bukankah orang tak pernah gemar bernafas..?”
“Artiku tidak bergantung dari kehadiranku, tetapi pada cintaku dan cinta yang diberikan kepadaku yang tak akan pernah tak hadir. Karenanya, sekali aku menyalakan rumah ini, nyala itu akan tetap tak akan pernah padam.”
“jangan marah padaku kalau aku menangis, Hari ini saja Kau boleh lihat sendiri nanti. Kau akan lihat tak lama lagi aku akan kembali bekerja, tertawa, dan mengoceh seperti biasa, aku janji.”
“Ini aku! Putra ayahku! Berikan padaku sesuatu yang besar untuk kutalukkan! Beri aku mimpi-mimpi yang tak mungkin karena aku belum menyerah! Takkan pernah menyerah. Takkan pernah!”
“Kau hampir tak pernah menghubungiku via ponsel, tapi setiap saat aku selalu saja melihat ponsel itu berkali-kali. Berharap ia berbunyi dan namamu yang tertera di sana. Lalu dengan agak menggigil aku berusaha melawan keinginanku sendiri, menyusun rencana-rencana tak selesai... untuk menjawab sapamu sedingin mungkin. Tapi tak ada bunyi. Tak. Kemudian pandanganku beralih pada blackberry dan lagi-lagi berharap kau pecahkan resah dalam sekali bip, padahal kau tak ada dalam kontak-ku. Maka bersama angin aku menggiring jeri, menyekap batin sendiri, memilin-milinnya menjadi puisi yang paling setia pada sunyi.”