“Menurut satu aliran pemikiran, jika seseorang menguasai satu keterampilan, dia telah menguasai seluruh ilmu. Ilmu bela diri bukan jurus-jurus belaka-- ilmu bela diri menyangkut kematangan jiwa. Jika seseorang mengolah jiwanya dengan sungguh-sungguh, orang itu mampu menguasai segala sesuatu, termasuk seni belajar dan pemerintahan. Dia memandang dunia apa adanya, dan sanggup menilai orang.”
“Diri seseorang itu adalah dasar segalanya. Setiap tindakan adalah ungkapan diri seseorang. Orang yang tidak kenal dirinya tak dapat melakukan apa pun buat orang lain.”
“Tuhan maha kuasa. Kalau Dia membatasi diri-Nya hanya dengan melakukan apa-apa yang baik, Dia tidak bisa disebut Maha Kuasa; itu berarti Dia hanya menguasai satu bagian alam semesta, dan ada orang lain yang lebih berkuasa daripada-Nya, yang mengawasi dan menilai tindakan-tindakan-Nya.”
“bukan sekadar membaca, tetapi mempertemukan antara satu buku dengan yang lain, mempertemukan mereka dengan realitas lalu menemukan sintesis dan membuat tulisan kita sendiri.”
“Saifuddin al-Amidi (1233 Masihi) dalam kitabnya yang terkenal Abkar al-Afkar telah mengumpul dan menganalisis semua takrif ilmu yang terdapat pada zamannya secara terperinci. Beliau mendapati bahawa takrif yang dikemukakan oleh Fakhruddin al-Razi (meninggal dunia 1209 Masihi) adalah yang terbaik. Takrif itu, yang diketengahkan semula dan diperbaiki lagi oleh Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas ialah seperti yang berikut:Merujuk kepada Allah sebagai asal segala ilmu, ia (ilmu) adalah ketibaan makna sesuatu ke dalam diri seseorang. Apabila merujuk kepada diri sebagai pentafsir, ilmu adalah ketibaan diri seseorang kepada makna tentang sesuatu.”
“Seorang samurai tidak bekerja sekadar untuk mengisi perut. Dia bukan budak makanan. Dia hidup untuk memenuhi panggilannya, untuk kewajiban dan pengabdian. Makanan hanyalah tambahan, sebuah berkah dari surga. Jangan menjadi laki-laki yang, karena terlalu sibuk mencari makan, menghabiskan hidupnya dalam kebimbangan.”
“Definisi epistemologis yang paling tepat untuk ilmu, dengan Allah Subhanallahu wa Ta'ala sebagai sumbernya, ialah tibanya (husul) makna (ma'na) sesuatu benda atau objek ilmu ke dalam jiwa. Dengan memandang jiwa sebagai penafsir maka ilmu adalah tibanya (wusul) diri (jiwa) kepada makna sesuatu hal atau suatu objek ilmu.”