“Ada persamaan antara penemu alat-alat dan seorang penyusun konsep-konsep fisika : mereka bermula dari kebebasan jiwa, dan berlanjut dalam kreasi. Kedua-duanya menolak pengekangan. Keduanya melintasi tabu (page 88)”

Goenawan Mohamad

Explore This Quote Further

Quote by Goenawan Mohamad: “Ada persamaan antara penemu alat-alat dan seoran… - Image 1

Similar quotes

“Dunia, menurut Tuan, adalah sebuah model kartografi. Tuan dengan kalem dan konsisten berbicara tentang "ekstrem kiri" dan ekstrem kanan" dan sesuatu yang di tengah-tengah, tentang "barat" dan "timur", "utara" dan "selatan", "kafir" dan "beriman" dan "orang-orang yang ragu" dan sebagainya. Bagi Tuan dunia bisa digambar dengan jelas, bukan karena kita menyederhanakan soal, tetapi karena kita manusia, mau tak mau menyusunnya dalam konsep-konsep. Manusia adalah makhlkuk yang membentuk kategori. (dan) apakah bahasa sebenarnya, kalau bukan sesuatu yang terdiri dari konsep, pengelompokkan, dan penggolongan, karena ada kejelasan? Saya selalu kagum dengan semua itu. Tapi bagaiana dengan hal-hal yang acak, yang kebetulan, yang kecil-kecil yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori-kategori? (maka kita harus) rendah hati, menerima kehadiran dunia dengan segala keacakannya, kerumitannya yang tidak selamanya bisa takluk kepada imperialisme konseptual. Tapi, tentu kita pun bertanya, bagaimana dengan itu kita akan mengubah dunia?”


“Kita tak jadi bijaksana, bersih hati dan bahagia karena membaca buku petunjuk yang judulnya bermula dengan "How to"...Kita harus terjun kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman. Kita harus berada dalam perbuatan, dalam merenung dan merasakan dalam laku. Ujian dan hasil ditentukan di sana.”


“Bagi saya, berdosa bukanlah inti rasa tragis. Intinya adalah kesadaran tentang 'tepi'. Tepi bukanlah batas. Tepi mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan yang genting sebab siapapun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seorang tak berada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena terang dan gelap ada dimana mana, tapi juga karena kedua duanya mengandung bahaya”


“Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.”


“Ada seorang pandai yang membedakan rasa hormat dari pujian. Ia bermimpi bahwa manusia mungkin dapat menciptakan suatu masyarakat tempat semua orang berhak atas rasa hormat, dan harga diri, meskipun tak semuanya berhak atas pujian”


“Dia ada bukan karena dirinya sendiri. Dia ada karena kekuasaan yang ada dalam jabatannya. Dengan kata lain, dia hanya bayang bayang dari sesuatu yang lain. Dia tak punya substansi.”