“Harapan, kata Vaclav Havel, "bukanlah keyakinan bahwa hal-ikhwal akan berjalan baik, melainkan rasa pasti bahwa ada sesuatu yang bukan hanya omong kosong dalam semua ini, apa pun yang akan terjadi akhirnya".”
“Pada masa ini sebuah teori sering terdengar seperti sebuah omong besar yang melalaikan kenyataan bahwa selalu ada hal kecil yang tak tercakup. Pada masa ini kita tak bisa sepenuhnya berharap ada hal yang universal yang akan disetujui semua orang, sebagai dasar dan tujuan bersama yang menyebabkan teori itu sah. Sebab itu ada yang menganjurkan: mari kita hidup dengan ironi. Kita tak perlu ngotot dengan satu premis. Selalu harus ada jarak dengan kesimpulan dan dugaan kita sendiri. Kita hanya perlu berpegang prinsip, "Jangan kejam kepada yang lain" .”
“Dia ada bukan karena dirinya sendiri. Dia ada karena kekuasaan yang ada dalam jabatannya. Dengan kata lain, dia hanya bayang bayang dari sesuatu yang lain. Dia tak punya substansi.”
“Bagi saya, berdosa bukanlah inti rasa tragis. Intinya adalah kesadaran tentang 'tepi'. Tepi bukanlah batas. Tepi mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan yang genting sebab siapapun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seorang tak berada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena terang dan gelap ada dimana mana, tapi juga karena kedua duanya mengandung bahaya”
“Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur. Ada yang menang, ada yang telantar lemah. Tapi jangan salah kira: di zaman seperti ini, yang lemah tak akan tinggal jadi gurun: “yang lemah berbahaya bagi yang kuat, sebagaimana pasir hanyut berbahaya bagi si gajah,“ kata Tagore tentang dunia modern.”
“Di setiap masa nampaknya selalu ada saat yang tak mudah untuk berbicara, tapi tidak gampang untuk diam. Kita tidak tahu pasti bagaimana persisnya kata-kata akan diberi harga, dan apakah sebuah isyarat akan sampai. Di luar pintu, pada saat seperti ini, hanya ada mendung, atau hujan, atau kebisuan, mungkin ketidakacuhan. Semuanya teka-teki.”
“Pernah ada masanya kita tahu bahwa buku yang laris belum tentu buku yang bermutu. Pernah kita mendasarkan informasi kita tentang “bermutu” atau “tidak” kepada satu atau dua orang penilai yang berwibawa. Tapi dewasa ini, bukan penilaian para penilai itu saja yang digugat. Bahkan ide tentang “bermutu” itu sendiri sudah dirobohkan, seakan-akan di sana ada kekuasaan para cendekia yang memaksa.”