“Patriotisme memang sering seperti api lilin di dalam tong terang, tapi terkurung.”
“Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.”
“Modernisasi pada akhirnya memang suatu permainan kekuatan. Ada yang tergusur, ada yang menggusur. Ada yang menang, ada yang telantar lemah. Tapi jangan salah kira: di zaman seperti ini, yang lemah tak akan tinggal jadi gurun: “yang lemah berbahaya bagi yang kuat, sebagaimana pasir hanyut berbahaya bagi si gajah,“ kata Tagore tentang dunia modern.”
“Agama, sebaliknya tidak mengklaim untuk jadi petunjuk praktis pengubah dunia. Semangat agama yang paling dasar menimbang hidup sebagai yang masih terdiri dari misteri, memang ada orang agama yang seperti kaum Marxis, menyombong bahwa “segala hal sudah ada jawabnya pada kami”; tapi pernyataan itu menantang makna doa—dan mematikan ruh religius itu sendiri. Sebab dalam doa, kita tahu, kita hanya debu”
“Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan. Ilham kita bukan Tuhan yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak sendiri, kita tak sendiri.”
“Rifangi hanya menawarkan sehelai pembalut putih yang steril, tapi manusia bukan cetakan tunggal mumi Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan.”
“Memang tak enak untuk mengingat-ingat bahwa kebahagiaan sering perlu uang yang terkadang amis dan tenaga kasar yang keringatnya berbau aneh. Kebahagiaan sering perlu sejumlah tetangga, yang tak jarang lebih miskin.”