“Pemilihan umum memang perlu dilihat sebagai upacara merayakan tekad tapi juga kerendahan hati: "sebuah Indonesia yang lebih baik" selamanya akan jadi sebuah janji--tapi yang selamanya layak jadi ikhtiar.”
“Hidup juga kayak cuaca. Hari ini bisa hujan, besok bisa cerah. Tapi, lo nggak akan punya hujan selamanya, atau kemarau selamanya. Kita butuh pahit dan manis secara bersamaan, sebuah bentuk keseimbangan.”
“memang begitulah hati manusia. Orang takut mengejar impian-impian mereka yang terpenting, sebab mereka merasa mereka tidak berhak memperolehnya, atau bahwa mereka tak mampu meraihnya. Kami, hati mereka, menjadi gentar hanya dengan berpikir tentang orang-orang tercinta yang akan pergi selamanya, atau tentang saat-saat yang seharusnya baik tapi ternyata tidak, atau tentang harta-harta yang mungkin mestinya sudah ditemukan tapi selamanya terkubur dalam tanah. Karena, saat hal-hal ini terjadi, kami sangat menderita.”
“Seribu slogan dan sebuah puisi: manakah yang lebih perlu? Kedua-duanya. Tapi apabila kita sadari bahwa yang menjadi tujuan bukanlah sekadar kebersamaan yang dipergunakan untuk kekuasaan, puisi akan lebih berarti. Karena puisi memungkinkan percakapan yang bebas, ia memustahilkan kekompakan yang munafik. Seorang tiran atau seorang Hitler setiap hari bisa saja membuat seribu slogan, tapi ia tidak akan sanggup membuat sajak yang sejati.”
“Kebahagiaan akan terasa lebih manis, lewat sebuah perjuangan yang sepenuh hati.”
“Tapi… karena nggak tahu apa-apa itulah, esok hari jadi sesuatu yang layak ditunggu, kan?”