“Ia kembali teringat nasihat kiai Lukman saat masih di pesantren dulu, "Eling-Elingo yo Ngger, endahe wanojo iku sing dadi jalaran batale toponing poro santri lan satrio agung”
“Waktu tak pernah melenyapkan perasaan. Ia hanya menyekapnya di dalam ruang. Menunggu saat yang tepat untuk kembali.”
“kedewasaan seseorang: setelah menemukan kembali keseriusaan yang pernah dimilikinya saat masih kanakkanak, saat sedang bermain.”
“Bagaimana mata ini dapat tertutup rapat dan tenteram sedangkan ia tak tahu di mana kelak ia akan kembali di antara dua tempat”
“Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman. Jika suatu peristiwa telah pergi, kau tahu, ia tak akan hilang begitu saja. Jika dulu ada tawa, gaungnya masih bisa masih bisa kau dengar di sana. Jika dulu ada air mata, kau masih bisa membasuhnya dengan tanganmu di sana, sekarang. Jika aku mati, kenangan itu akan hidup.”
“Seperti pohon...Di pokok kita masih satu, lantas kita berpisah di cabang. Ada yang ke kiri, ada yang ke kanan, ada yang terus ke atas, ada yang ke depan, ada yang ke belakang. Atau bilapun masih satu di cabang, kita nanti akan berpisah juga di ranting. Ke atas, ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang...Saat kita kecil dulu, kita masih satu, masih anak kecil. Lantas sedikit demi sedikit waktu kita bikin kita beda. Waktunya makin banyak, beda kita tambah banyak.Itulah kita.”