“Agar hidupmu tidak sengsara sepertiku, Nak. Aku tidak lulus SD. Tidak bisa apa-apa. Hanya bisa memasak saja. Jangan sepertiku ya, Nak. Cukup aku saja yang tidak sekolah. Itu yang selalu Ibuk katakan di hadapan anak-anaknya.”
“Berapa pun uang yang kamu miliki, jangan pernah berlebihan. Nabung! Kamu bisa jatuh sakit. Harus ke dokter dan itu tidak murah. Hidupmu tidak hanya untuk sekarang saja. Hidupmu masih panjang," pesan Ibuk yang tidak mempunyai rekening di bank.”
“Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman. Jika suatu peristiwa telah pergi, kau tahu, ia tak akan hilang begitu saja. Jika dulu ada tawa, gaungnya masih bisa masih bisa kau dengar di sana. Jika dulu ada air mata, kau masih bisa membasuhnya dengan tanganmu di sana, sekarang. Jika aku mati, kenangan itu akan hidup.”
“Cintanya melahirkan tekad untuk kehidupan yang lebih baik, untuk anak-anaknya. Agar anak-anaknya tidak melalui jalan hidup yang sama dengan jalan hidup yang telah ia lalui dahulu.”
“Nduk, sekolah nang SMP iku mesti. Koen kudu sekolah. Uripmu cek gak soro koyok aku, Nduk! Aku gak lulus SD. Gak iso opo-opo. Aku mek iso masak tok. Ojo koyok aku yo Nduk! Cukup aku ae sing gak sekolah...," kata Ibuk.”
“Aku menulis untuk orang-orang yang telah menyentuh hatiku, kehangatan keluarga yang telah menghangatkan hidupku, serta alam sekitar yang menyegarkan perjalanan ini. Tulisanku mencoba menangkap kenangan agar mereka tidak menguap begitu saja. Aku menulis sebelum kenangan jatuh dari ingatan. Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak akan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang.”
“Impian harus menyala dengan apa pun yang kita miliki, meskipun yang kita miliki tidak sempurna, meskipun itu retak-retak”