“Nah... Kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua...," lanjutnya terbata-bata.”
“Ah, sampai di sini, mungkin kau akan bertanya siapa diriku. Tapi apa perlunya kau tahu? Aku hanya bagian kecil dari cerita ini. Aku hanya seseorang yang berusaha mencatat sedikit kenangan agar tak hilang begitu saja ditelan zaman. Jika suatu peristiwa telah pergi, kau tahu, ia tak akan hilang begitu saja. Jika dulu ada tawa, gaungnya masih bisa masih bisa kau dengar di sana. Jika dulu ada air mata, kau masih bisa membasuhnya dengan tanganmu di sana, sekarang. Jika aku mati, kenangan itu akan hidup.”
“Aku melintasi kehidupan dan kala. Aku berlayar menembus senja. Kuberanikan diri menulis untuk mengabadikan momen hidup dalam lembaran kertas. Sekali lagi, dengan segala kemampuan yang aku punya. Kau lihat, betapa sederhana tulisanku. Sekali lagi, aku hanya ingin mengabadikan sebuah momen hidup dalam lembaran kertas ini. Sebagai suatu museum kehidupan.”
“Sajak Musim GugurMalam-malam berguguran...Kenangan berguguran...Hanya sajak ini yang tumbuhKau selalu berdiri, ketika matahari mengoyak langitKetika panas, mengoyak-ngoyak hidup!Kau pernah ajak aku berjalanMelalui pagi dan senja, berbasah hujanMelalui kali. Luka dan suka mengalir di sanaTanpa jedaBertahan! Kau harus bertahan...Jangan gugur sebelum musim dingin tibaIni kuberikan napasku!”
“Ia mulai belajar menata hidupnya, hidup suaminya. Hidup anak-anaknya kelak. Hidup keluarganya kelak.”
“Hidup memang menantang. Hidup kadang melempar, kadang menampar. Tapi hidup terlalu megah untuk diakhiri oleh diri sendiri. Bukankah keindahan hidup seringkali ditemukan dalam pilu?”