“Selesai sudah kubungkus kenangan itu. Tak semua memang karena ingatan ini kadang keruh dan tak bisa tajam membelah-belah masa lalu yang panjang.”
“Aku menulis untuk orang-orang yang telah menyentuh hatiku, kehangatan keluarga yang telah menghangatkan hidupku, serta alam sekitar yang menyegarkan perjalanan ini. Tulisanku mencoba menangkap kenangan agar mereka tidak menguap begitu saja. Aku menulis sebelum kenangan jatuh dari ingatan. Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak akan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang.”
“Menulis pun kadang bisa menusuk ulu hati seperti sekarang ini. Membuat detik-detik waktu yang berjalan di masa lalu berdetak lebih kencang. Lonceng waktu seakan berdentang kembali, membangunkan kesadaran dengan keras.”
“Sampai di sini, air mataku mengalir. Tak hanya mengalir, aku bahkan menghujan. Kenangan mereka berembus kencang menghantam pagi menjelang siang di kamarku. Sendiri. Kumatikan televisi yang dari tadi memang tak kulihat. Hujan mengempas kota kecil ini. Membuat pagi semakin melankolis. Angin berembus, menyibak korden putih yang tipis. Aku tak kuasa lagi meneruskan tulisanku.”
“Sebuah momen sederhana, momen masa kecil yang menggetarkan. Sebuah percik kehidupan yang akan menjadi kenangan. Kenangan yang bisa menyelamatkan Bayek dan saudara-saudaranya kelak dalam hidup selanjutnya. Sebuah kebersamaan yang akan mengikat mereka, ke mana pun mereka pergi. Hangat matahari pagi itu akan menemani hidup mereka. Selamanya.”
“Tak ada foto tapi kenangan itu melekat erat.”
“Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat”