“Gue butuh 'oksigen'. Kekuatan dengan energinya yang selalu bisa bikin gue bangkit. Saat ini, gue nggak butuh apapun, selain berharap 'oksigen' gue kembali. Disini, disamping gue.”
“Ternyata gue salah. Ya, gue salah. Gue salah ketika gue mengira kalo diri gue sanggup untuk jauh dari 'sebelah sayap' gue. Gue nggak sanggup. Sayap gue terluka. Dan gue, cuma bisa mematung disini. Beku.”
“Jujur! Gue paling nggak bisa ngeliat cewek nangis. Entah itu nangis gara-gara galau karena cowoknya atau malu bajunya kebalik. Hal yang bisa bikin cewek nangis bener-bener gue hindarin. Misalnya, netesin sabun ke mata dia. Itu nggak banget gue lakuin. Karena gue yakin, semenit kemudian air mata dia bakan keluar, dan gue nggak tega ngeliat itu.”
“Ya memang cinta, tapi gue mau cinta dalam bentuk lainnya. Suatu bentuk cinta yang selama ini ada di kamus gue, tapi dengan definisi yang salah. Gue pikir gue cinta sama seorang laki-laki selama lima belas tahun tapi sekarang gue sadar gue nggak cinta sama dia. Separo hidup gue sudah habis hanya untuk menunggu cinta orang itu. Gue sudah salah perhitungan.”
“Kadang-kadang emang butuh sendiri supaya bisa denger dengan jelas apa yang hati kita butuhkan. Biar hidup nggak garing kayak hidup gue sekarang.”
“Mungkin... gue perlu orang yang bisa mencairkan hati gue yang udah keras ini. Gue perlu melihat lebih banyak. Mendengar lebih banyak.”
“Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu semua gue kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue ngerasa kosong, dan gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi sama segala sesuatu yang sifatnya material. Kekosongan itu harus diisi dengan... cinta.”