“Maksudnya biar lo termotivasi untuk cepat dapat pacar. Biar ada yang nemenin lo ke toko buku—""—gue bisa sendiri!" selaku cepat."atau menemani lo ngopi-ngopi—""—itulah gunanya teman-teman cewek!""atau mendengarkan lo curhat—""—itulah gunanya Syiana.""atau dimintai pertolongan saat si pipi tembam mogok di jalan.""— itu kan gunanya lo, San." Aku mulai nyengir.”
“Demi Tuhan, Dyt. Ada teknologi Facebook, Twitter, Foursquare. Gue aja bisa nemuin teman TK gue yang bahkan gue lupa namanya!”
“No matter how often you're being a pain in my ass mengingat begitu banyaknya kejadian saat lo menjadi sumber dari segala sumber masalah yang membuat gue merasa mungkin nama tengah lo bukan Adrianissa tapi 'trouble', you know you are THAT worthy, Dyt.”
“Kalau kamu gak bisa tertawa berulang-ulang untuk hal yang sama, lalu mengapa kamu terus menangis berulang-ulang untuk masalah yang sama?”
“Sepanjang sejarah manusia yang ditulis—sebutlah sejarah modern, mulai dari era Renaisance pertama atau Revolusi Sosial di Inggris abad ke-16—yang disebut kiri itu ialah orang atau sekelompok orang yang tidak betah pada keadaan yang mapan dan berlangsung. Itulah kiri. Bukan karena membaca buku Karl Marx, Das Kapital, membaca Manifesto Communist, lantas membaca Bismarck tentang nasionalisme atau apapun lainnya, tidak. Kiri itu ialah orang-orang atau sekelompok orang yang tidak betah pada keadaan yang sedang berlangsung dan mapan. Itulah kiri.”
“Aku ada buku, aku tak perlukan pakaian atau sepatu khusus untuk berjalan ke perbukitan.”
“Wah ini mudah. "Pasti Mbak tau kok," ujarku yakin. "Laki-laki, namanya Ardian, tadi dia ke sini pakai celana jeans dan kemeja hitam."Melihat si Mbak Linda mengerutkan kening, aku kemudian menambahkan. "Dia ganteng mbak. Seberapa banyak nasabah mbak yang ganteng hari ini?”