“Sabarnya Kak Ain yang piatu itu menghadapi semuanya sendiri. Duha ingin sekali jadi setabah Kak Ain. Allah menguji hamba yang dia pilih. Ujian Duha mengkin tidak sebesar ujian Kak Ain, tetapi ujian tetap ujian kan. Dan Allah pilih Duha, Subhanallah.”
“Duha bukannya pesimis kalau dilihat dari luar, tetapi dalam hatinya tiada siapa yang tahu. Hatinya dia bungkus kejap-kejap, sampai tiada siapa yang dapat menekanya.”
“Duha tidak tahu kenapa dia tidak jadi marah pada Muhsin yang berkuning langsat itu. Padahal waktu itu, udara di sekitar kedai belakang masjid ini panaslah juga. Agaknya berkat kota ini, membuat hati sentiasa rela bersabar. Terasa dekat sahaja dengan makam Rasulullah, membuat kita jadi malu kalau berkelakuan tidak sopan.”
“Oh Tuhan... biarlah semua orang meninggalkan Duha, tetapi janganlah Engkau meninggalkan Duha keseorangan, ya!”
“Di sana dia sedar, cinta kepada Allah tiada tolok bandingnya. Allah tidak pernah tinggalkan kita biar waktu kita senang dan susah.”
“Mungkin beginilah seharusnya ujian disambut, sebuah perayaan terhadap ilmu. Dengan gempita. Selain itu, aku kira, pesta ujian yang meriah ini juga dibuat agar kami sekali-kali tidak boleh pernah takut apalagi trauma dengan ujian. Bahkan diharapkan kami kebal terhadap tekanan ujian dan bahkan bisa menikmati ujian itu. Apalagi ujian akan terus datang dalam berbagai rupa sampai akhir hayat kami.”
“Apabila Alang bertanya bagaimana untuk mengubat hati tadi, secara berbisik Aqmar menjawab... ubat hati ada lima caranya. Bunyinya macam senang aja, baca Al-Qur'an dengan memahami maknanya sekali. Selain itu mendirikan solat malam dan berkawan dengan orang soleh. Yang keempat dan kelima ialah puasa dan zikir yang berpanjangan.”