“Seperti manusia, kelak berakhir sendiri dalam maut yang sangat pribadi. Kesendirian tak pernah menakutkanmu, kau lebih takut pada ketiadaan kata berpisah.”

Nukila Amal

Explore This Quote Further

Quote by Nukila Amal: “Seperti manusia, kelak berakhir sendiri dalam ma… - Image 1

Similar quotes

“Ini cuma sebuah laku bacalah, bukan bacakanlah. Bacalah adalah serupa bisikan, serupa gerimis hujan, desir angin, desir lokan, atau gemerisik dedaunan. Bacakanlah bagai teriakan, berpengeras suara bergema kemana-mana. Sebab bisikan lebih menggoda lebih menjamah lebih menggugah daripada teriakan. Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.Hanya membaca. Sebuah laku pribadi, hening sendiri, hanya dalam hati, sunyi tanpa bunyi. Ketika hanya ada satu benak yang menari dengan benak lain (malaikat jatuh, malaikat patuh, betapa tipisnya, keduanya hanya membuat manusia teramat manusia). Aku tak peduli, benak mana yang akan berbisik. Aku tak peduli, ada atau tiada makna, terserah saja.”


“Ada ruang kosong di sela-sela sebuah kata. Ada banyak omong kosong di sela-sela bicara--tapi perlu. Adalah percakapan dengan teman yang selalu bisa menjaga kewarasan, menyelamatkanku dari jemu sempurna. Di tengah carut-marut fungsi mekanistik otomatik hampir robotik sebuah industri yang menyelubungi diri dengan judul keramah-tamahan manusia, ada teman-teman--manusia yang hidup dan dekat.”


“Lalu bapakmu akan berkata, bintang tak pernah secantik tampakannya, tak sedekat yang kita duga. Ia cuma penghias panas malam para pemimpi.Tapi aku mau terbang. Aku mau menyentuh bintang. Jika ujung jariku melepuh, akan kubelah lima. Dan pulang dengan sepasang tangan berjari lima puluh.”


“Dunia tengah berangkat gila, dan di zaman ini hanya orang gila yang berkeinginan mengubah atau menyelamatkan dunia. Seandainya tiap manusia cukup rendah hati untuk menyelamatkan sebuah dunianya terlebih dulu (Cala Ibi, h.151)”


“Saya percaya bahwa orang bukannya takut mati. Mereka takut sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih menggelisahkan dan lebih tragis daripada maut itu sendiri. Kita takut tidak pernah hidup, menjelang akhir hayat kita dengan perasaan bahwa kita tidak pernah benar-benar hidup. Bahwa kita tidak pernah memahami, untuk apa kehidupan kita itu.”


“Agaknya sang waktulah yang paling perkasa dalam kehidupan. Ia tak tersaing,Tak pernah mengeluh. Tak pernah juga merasa takut. Sementara manusia -saya dan anda- berlanjut usia, berlanjut pula tulahnya.”