“Hati yang sudah terikat oleh beban tak bisa menghasilkan apa-apa selain kegelisahan dan ketakpuasan.”

“Aku mungkin hanya musafir iseng tak punya tujuan? Apa yang kucari? Aku terpenjara oleh kantor, oleh keluarga, oleh orangtua dan mertua, oleh istri dan anak-anak. Tapi siapa bilang aku tak terpenjara oleh nafsuku sendiri, dan kecenderungan-kecenderungan sok mengejar apa yang abadi, tapi tak sadar telah kandas diatas segala yang fana?”

“Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan. Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan.”

“Keadaan mendesak. Apa pun pekerjaan yang bisa menghasilkan uang akan dilakukannya.”

“Tak ada yang tahu perasaan apa yang disimpan dalam hati seseorang, mungkin itu sebabnya kita sering menebak dan berharap.”

“Sering aku disiksa oleh pertanyaan: mengapa A Ling bisa begitu? Apa salahku sehingga ia begitu? Apa yang ada di kepala seorang perempuan? Apakah pertimbangan yang bijak? Kecemasan? Atau sekadar dengungan? Sungguh aku tak mengerti. NAmun, perlukah aku mengerti? Kurasa tidak. Yang kuperlukan hanyalah menghormati keputusannya, dan karena Tuhan telah menciptakan manusia dengan hati dan pikiran yang boleh punya jalan masing-masing, penghormatan seharusnya tidak memerlukan pengertian. (hlm. 237)”