“Ibu bapak tani—ibu bapak tanah air—akan meratapi putera-puterinya yang terkubur dalam udara terbuka di atas rumput hijau, di bawah naungan langit biru di mana awan putih berarak dan angin bersuling di rumpun bambu. Kemudian tinggallah tulang belulang putih yang bercerita pada musafir lalu, “ Di sini pernah terjadi pertempuran. Dan aku mati di sini.”
“Seol : "Kenapa Nona tidak mengantarkannya keluar? Kenapa Nona hanya duduk di sini? Kenapa?(Wol tersneyum menjawab tanpa ekspresi)Wol : "Setiap kali ujung pakaiannya menyapu gerimis yang membawanya kesini, dan setiap kali gerimis yang beristirahat di atas rumput, beristirahat di atas tanah, dan beristirahat bersama embusan angin membasahi setiap bagian pakaiannya, maka itu berarti aku sedang mengiringinya sampai ke istana...”
“Di mana-mana terdapat rumput jelatang,Tapi rumput hijau yang lembut tetap lebih banyak,Kebiruan langit lebih luas daripada awan gelap.”
“Ah, tapi itulah kehidupan. Tidak akan pernah sempurna, dan kita akan selalu membuat kesalahan di sini dan di sana, tapi kita harus mampu belajar dari semua kesalahan itu agar tidak membuat kesalahan yang sama di kemudian hari.”
“Waktu itu, aku juga merasa sudah sangat mengenalmu. Aku yakin kita pasti sudah bertemu, sangat yakin. Hanya saja aku lupa kapan dan dimana pertemuan itu terjadi. Barangkali di sajak-sajak penyair yang tak pernah selesai, atau di halaman belakang sebuah roman yang berakhir tak bahagia,atau di dalam lirik-lirik lagu yang mendentingkan sunyi di telinga, atau di alun nada musik semesta yang kudengar semasa masih di rahim ibu. Entahlah.”
“Aku terkesima betapa dunia adalah sebuah tempat yang indah. Sekali lagi aku mendapatkan perasaan euphoria terhadap segala sesuatu di sekitar diriku. Siapakah kita ini, yang selalu hidup di sini? Setiap orang di pelataran itu seperti sebuah harta karun hidup yang penuh dengan pikiran dan kenangan, impian dan keinginan. Aku terkurung di dalam kehidupan kecilku sendiri di bumi ini, tapi itu pun berlaku pada setiap orang lain di pelataran ini.”