“Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan.”
“ Saya tak pernah tinggalkan awak. Walaupun awak jauh, saya dapat melihat awak. Walaupun awak jauh, saya dapat merasa kehadiran awak. Walau pun awak jauh, saya dapat mendengar awak. Saya sentiasa di sisi awak. Awak sentiasa di sisi saya, di sini…”
“Di sekolah, anak-anak belajar bahasa Indonesia, tetapi mereka tak pernah diajar berpidato, berdebat, menulis puisi tentang alam ataupun reportase tentang kehidupan. Mereka cuma disuruh menghafal : menghafal apa itu bunyi diftong, menghafal definisi tata bahasa, menghafal nama-nama penyair yang sajaknya tak pernah mereka baca.”
“Kita tak meng-harap. Kita ber-harap. Tanpa optimisme. Tapi kita tahu bahwa dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Di dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya.”
“Cinta tak mengenal tanda baca titik, karena cinta tak pernah ada habisnya..”
“Suara, bahkan risalah protes yang keras, seperti halnya sastra, tak pernah cukup kuat dan cukup padu untuk mengubah dunia.”