“Aku tidak ingin cinta yang sejati. Tapi biarkan aku mencicipi cinta yang bukan sesaat. Biarkan aku berjuang dan bertahan di sana. Biarkan aku tersiksa untuk terus belajar bersetia. Aku rela tenggelam di sana, sebagaimana segelintir orang yang beruntung mendapatkannya.”
“Mengapa kamu beri aku imbalan yang sangat besar untuk kerjaku yang sangat sederhana ini? Sementara aku tahu orang-orang di sekitarmu kamu peras keringat dan pikirannya, kamu lucuti mental hidupnya.”
“Cinta tak dapat dipaksa. Dan aku senang jika orang yang aku cintai juga merasa senang. Aku tak dapat hidup bersamanya. Ia akan tersiksa dan aku tak ingin dia begitu.”
“Tapi aku tidak punya keberanian yang cukup untuk memperjuangkan cinta kita ||Cukup katakan padaku kalau kau masih menginginkan aku bersamamu. Cukup dengan menjadi alasan aku berjuang. Dengan begitu kamu telah berjuang bersamaku...”
“Sepuluh tahun aku berkelana menjelajahi hidup di negeri seberang. Jauh di seberang. Aku meninggalkan hatiku di kota kecil ini demi cinta. Dan dari seberang sana juga aku menemukan cinta. Aku menemukan diriku.”
“Mungkin aku memang sudah gila, mencintai pacar temanku sendiri. Barangkali cinta seperti kejahatan. Ia bisa terjadi bukan hanya karena ada niat, tapi juga karena adanya kesempatan. Aku tahu pasti aku hanya mencari-cari pembenaran saja untuk perasaanku. Jadi siapa aku sekarang? Hanya pecundang malang yang jatuh cinta kepada orang yang salah, dan pada saat yang sama dicintai oleh orang yang salah pula!”
“Benar bahwa kamu punya hak untuk mencoba menemukan pengganti perempuan itu. Tapi bukan begitu caranya. Ibarat seorang atlet yang cedera, seharusnya disembuhkan dulu luka itu, baru berlatih lagi dan bertanding lagi. Sebab jika ia terluka dan tetap berlatih serta bertanding, kamu akan semakin terluka, bahkan jika kasus itu sepertimu, bisa melukai orang lain.”