“Bagi gue, rumah adalah dia. Karena dia adalah tempat gue pulang. Karena, orang terbaik buat kita itu seperti rumah yang sempurna. Sesuatu yang bisa melindungi kita dari gelap, hujan, dan menawarkan kenyamanan.”
“GAGAL ITU BIASA. Yang penting itu adalah bagaimana kita menghadapi kegagalan itu. Nggak diterima, ditolak atau dianggap remeh sama orang itu biasa, jangan dibawa kesel. Perlu kita tau, orang yang menganggap remeh kita adalah guru kita, kenapa? Karena dia membuat kita kesel dan berapi-api untuk membuktikan kepada dia kali kita nggak seperti yang dia bayangkan.”
“Jujur! Gue paling nggak bisa ngeliat cewek nangis. Entah itu nangis gara-gara galau karena cowoknya atau malu bajunya kebalik. Hal yang bisa bikin cewek nangis bener-bener gue hindarin. Misalnya, netesin sabun ke mata dia. Itu nggak banget gue lakuin. Karena gue yakin, semenit kemudian air mata dia bakan keluar, dan gue nggak tega ngeliat itu.”
“Seperti juga bagi orang-orang pribumi lain, bagi Salim itu pun logika yang tidak bisa diusik-usik. Bila kita kuli kontrak, kita pun kehilangan semua kemanusiaan dan hak kita. Kita harus selalu melakukan apa yang diperintahkan oleh seorang tuan administratur untuk melakukannya, dan karena itu akan sangat ganjillah bila kita harus sakit karena satu pon daging busuk”
“Takdir itu menyimpan misteri, tak bisa kita tolak garisnya. Barangkali, yang harus dilakukan adalah bertahan karena bisa jadi garis itu akan membawa kita pada sesuatu hal yang tak terduga. -86”
“Dunia, menurut Tuan, adalah sebuah model kartografi. Tuan dengan kalem dan konsisten berbicara tentang "ekstrem kiri" dan ekstrem kanan" dan sesuatu yang di tengah-tengah, tentang "barat" dan "timur", "utara" dan "selatan", "kafir" dan "beriman" dan "orang-orang yang ragu" dan sebagainya. Bagi Tuan dunia bisa digambar dengan jelas, bukan karena kita menyederhanakan soal, tetapi karena kita manusia, mau tak mau menyusunnya dalam konsep-konsep. Manusia adalah makhlkuk yang membentuk kategori. (dan) apakah bahasa sebenarnya, kalau bukan sesuatu yang terdiri dari konsep, pengelompokkan, dan penggolongan, karena ada kejelasan? Saya selalu kagum dengan semua itu. Tapi bagaiana dengan hal-hal yang acak, yang kebetulan, yang kecil-kecil yang tidak bisa dimasukkan dalam kategori-kategori? (maka kita harus) rendah hati, menerima kehadiran dunia dengan segala keacakannya, kerumitannya yang tidak selamanya bisa takluk kepada imperialisme konseptual. Tapi, tentu kita pun bertanya, bagaimana dengan itu kita akan mengubah dunia?”