“Itulah sebabnya mengapa di kalangan elite Indonesia pasca-Revolusi, yang lingkarannya sebenarnya sangat kecil, selalu ada kecenderungan untuk terus menerus mengandalkan intervensi negara. Mereka senantiasa memandang dengan penuh curiga pada proses perdagangan dan bekerjanya ekonomi pasar. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa sejarah intelektual Indonesia sampai pada awal 1960-an sangat diwarnai oleh perkawinan antara nasionalisme dan sosialisme, dalam berbagai bentuknya.”
“Indonesia adalah sebuah republik yang didirikan oleh para pejuang kemerdekaan, cendekiawan, wartawan, dan aktivis politik yang sangat yakin bahwa kapitalisme adalah faktor utama di balik penindasan dan kekuasaan sistem kolonial. Mereka umumnya sangat nasionalis. Tokoh-tokoh yang paling menonjol di kalangan pejuang muda kemerdekaan ini, seperti Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka, sangat dipengaruhi oleh berbagai gagasan kiri di Eropa pada tahun 1920-an dan 1930-an. Bahkan tokoh-tokoh yang paling terdidik secara profesional dalam ilmu ekonomi di antara mereka, sepert Mohammad Hatta atau Prof Sumitro Djojohadikusumo, pendiri fakultas Ekonomi UI, atau tokoh yang memiliki pengalaman praktis dalam dunia administrasi ekonomi, seperti Sjafruddin Prawiranegara, tidak terbebas dari pengaruh demikian.”
“Pada 1 Oktober 1965 siang, pernyataan berikut disiarkan.Keputusan No. 2 tentang Penurunan dan Penaikan Pangkat.Berhubung segenap kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia pada tanggal 30 September 1965 diambil alih oleh Gerakan 30 September yang Komandannya adalah perwira dengan pangkat Letnan Kolonel, maka dengan ini saya nyatakan tidak berlaku lagi pangkat dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang di atas Letnan Kolonel atau setingkat. Semua perwira yang tadinya berpangkat di atas Letnan Kolonel harus menyatakan kesetiaan secara tertulis kepada Dewan Revolusi Indonesia dan baru sesudah itu berhak memakkai tanda pangkat Letnan Kolonel. Letnan Kolonel adalah pangkat yang tertinggi dalam Angkatan Bersenjata Negara Republik Indonesia.”
“Soeharto dan sejumlah besar elite di dalam pemerintah tidak mau menderegulasi bebeapa sektor penting, yaitu sektor-sektor yang berhubungan dengan BUMN, karena Soeharto dan kaum elite lainnya sangat diuntungkan dengan berbagai praktik yang ada.”
“Selalu ada yang bisa mengerikan dalam hubungan kita dengan sejarah. Tapi pada saat yang sama, selalu ada yang membuat masa lalu berharga justru dalam kerapuhan manusia.”
“Pada mulanya hanya ada dua entitas. yaitu X dan Y. Keduanya adalah rekan yang berbeda total walaupun saling mengakui satu sama lain. X selalu berkata bahwa dirinyalah ‘isi’ dan rekannya Y adalah ‘hampa’. Sebaliknya Y juga berkata bahwa dirinyalah ‘isi’ dan rekannya X adalah ‘hampa’. Mereka saling meng-klaim bahwa dirinyalah ‘isi’ dan rekannya adalah ‘hampa’. Tak satupun dari mereka yang bersedia untuk disebut ‘hampa’. Mereka terus berargumentasi dan akhirnya sadar bahwa sebenarnya tidak ada yang bisa mereka jadikan sebagai acuan untuk menetapkan siapa sebenarnya yang ‘isi’ dan siapa sebenarnya yang ‘hampa’. Sebab yang ada cuma mereka berdua saja, X dan Y.”