“Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan, dan setiap senja keemasan itu tidaklah selalu sama….Aku selalu membayangkan ada sebuah Negeri Senja, dimana langit selalu merah keemas-emasan dan setiap orang di negeri itu lalu lalang dalam siluet.Dalam bayanganku Negeri Senja itu tak pernah mengalami malam, tak pernah mengalami pagi dan tak pernah mengalami siang.Senja adalah abadi di Negeri Senja, matahari selalu dalam keadaan merah membara dan siap terbenam tapi tak pernah terbenam, sehingga seluruh dinding gedung, tembok gang, dan kaca-kaca jendela berkilat selalu kemerah-merahan.Orang-orang bisa terus-menerus berada di pantai selama-lamanya, dan orang-orang bisa terus-menerus minum kopi sambil memandang langit semburat yang keemas-emasan. Kebahagiaan terus-menerus bertebaran di Negeri Senja seolah-olah tidak akan pernah berubah lagi….”
In this quote by Seno Gumira Ajidarma, the speaker muses about the idea of a mythical "Negeri Senja" or "Land of Sunset." The imagery of a perpetual golden sunset in this fantastical land symbolizes eternal beauty, happiness, and tranquility. The speaker paints a picture of a world where time stands still, where people can endlessly enjoy the warmth and beauty of the setting sun. The concept of Negeri Senja represents a utopian ideal, a place untouched by the passage of time and the darkness of night. It evokes a sense of nostalgia for a perfect moment frozen in time, where happiness and contentment reign supreme.
In a world that is constantly changing and filled with uncertainty, the concept of a timeless and perpetual sunset in the Land of Sunset as described by Seno Gumira Ajidarma provides a sense of peace and stability. It serves as a reminder that despite the challenges and chaos of life, there are moments of beauty and tranquility that can be found if we take the time to appreciate them. This imagery of a never-ending golden sunset can inspire us to seek out moments of happiness and contentment in our own lives, even amidst the busyness and unpredictability of the world around us.
In his writing, Seno Gumira Ajidarma paints a vivid picture of a mystical place he calls "Negeri Senja" where every sunset is a golden spectacle. The description of this imaginary land evokes a sense of eternal bliss and tranquility, where the beauty of twilight never fades.
As you reflect on the passage by Seno Gumira Ajidarma, consider the following questions:
What does the concept of a "Negeri Senja" or "Land of Sunset" evoke for you personally?
How does the description of the perpetual sunset in Negeri Senja make you feel? Does it bring a sense of comfort, wonder, or something else?
In what ways do you think the idea of a never-ending sunset paradise reflects the human desire for eternal happiness and contentment?
Consider the symbolism of the golden sunset in the passage. How might this imagery connect to themes of beauty, nostalgia, or the passage of time?
“Bukankah cinta tak pernah berdiri sendiri? Selalu ada dua orang yang tinggal di dalamnya. Sama-sama mencintai, mencintai dan membenci, atau saling membenci. Semuanya adalah bentuk perasaan yang mewakili cinta dua orang.”
“Tak ada pesta yang tak usai. Tapi selalu ada pesta lain di tempat yang lain. Temukan pestamu dan pastikan ia takkan pernah usai.”
“Aku terkesima betapa dunia adalah sebuah tempat yang indah. Sekali lagi aku mendapatkan perasaan euphoria terhadap segala sesuatu di sekitar diriku. Siapakah kita ini, yang selalu hidup di sini? Setiap orang di pelataran itu seperti sebuah harta karun hidup yang penuh dengan pikiran dan kenangan, impian dan keinginan. Aku terkurung di dalam kehidupan kecilku sendiri di bumi ini, tapi itu pun berlaku pada setiap orang lain di pelataran ini.”
“Ah, tapi itulah kehidupan. Tidak akan pernah sempurna, dan kita akan selalu membuat kesalahan di sini dan di sana, tapi kita harus mampu belajar dari semua kesalahan itu agar tidak membuat kesalahan yang sama di kemudian hari.”
“Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu kau minum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kau hirup ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di atas meja setiap pagi”