“Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa.”
In this quote by Soe Hok Gie, he ponders the limits of one's sense of reasonableness and sacrifice. He questions the depth of someone's ability to sacrifice for something intangible or seemingly insignificant. Gie highlights the notion that true sacrifice may not always involve grand gestures or noble causes, but rather the ability to sacrifice for nothing at all. This thought provoking quote challenges the reader to consider what true sacrifice means and the value of sacrificing for the seemingly insignificant.
Soe Hok Gie's words continue to hold modern relevance as they highlight the importance of staying true to one's principles and beliefs, even in the face of adversity. In today's fast-paced world, where materialism and selfishness often prevail, Gie's message serves as a powerful reminder of the value of selflessness and sacrifice.
"“Tapi sekarang aku berpikir sampai di mana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah, ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa.” - Soe Hok Gie" expresses a thought-provoking reflection on the concept of sacrifice and rationality.
As we ponder on this quote by Soe Hok Gie, it raises essential questions about the limits of self-sacrifice and selflessness. Consider the following reflection questions:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
“Ketika Hitler mulai membuas maka kelompok Inge School berkata tidak. Mereka (pemuda-pemuda Jerman ini) punya keberanian untuk berkata "tidak". Mereka, walaupun masih muda, telah berani menentang pemimpin-pemimpin gang-gang bajingan, rezim Nazi yang semua identik. Bahwa mereka mati, bagiku bukan soal. Mereka telah memenuhi panggilan seorang pemikir. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.”
“Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua.”
“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: 'dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan'. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.”
“Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.”
“Jika seseorang individu atau tokoh itu mempunyai kredibiliti dan kekuatan maknawi yang tersendiri, ide dan falsafah hidupnya tetap boleh menerangi persekitarannya meskipun dia tidak menjawat apa-apa jabatan.”