“Aku merapikan semua kertas-kertas dan alat tulisku yang berceceran. Aku sudah mati, tapi masih melakukan segala rutinitas ketika masih hidup.”
“Orang yang mati disebut pergi. Sedang aku belum pergi. Aku masih di sini. Tapi sungguh, aku sudah mati.”
“Berdekatan dengan mereka selalu mengingatkanku pada kejaran pertanyaan "Mana suaminya? Mana anaknya?". Aku sendiri tidak penting. Bagi mereka, mempunyai suami dan anak jauh lebih penting dari diriku. Aku memang sudah mati sebelum mati.”
“dan aku terkadang lupa untuk pura-pura hidup. Tubuhku terdiam. Denyutku hilang. Aku tidak bergerak sama sekali. Tapi, setelah terdiam beberapa lama, si kembar mulai menusuk-nusuk tubuhku dengan jari mereka, mengingatkan aku untuk berpura-pura hidup lagi”
“Bila hidup adalah guru, aku seperti murid yang tak mampu menjawab pertanyaannya di depan kelas. Yang kuinginkan adalah menghilang, menghilang, menghilang dari tatapan murid lain yang mengejek. Lenyap dari segala pandangan mereka”
“Setahuku, Papa tidak benci hidup. Dia tidak pernah membenci hidup. Tapi hiduplah yang membenci dia. Papa selalu meminta hidup untuk bersamanya dengan menggapai-gapai tumpukan pil dan masker oksigen. Bahkan ketika hidup akan meninggalkannya.”
“Akhirnya mereka semua diam bukan karena tidak mau ribut-ribut di depan orang mati, tapi karena ada makhluk di dekat yang tak bernyawa, yang bisa sesenggukan.”