“Ia menceritakan kisah tentang surga, di mana para manusia yang saleh dapat hidup dengan nikmat, senikmat-nikmatnya. Mereka bisa mendapat makanan dan minuman berlimpah, bidadari yang cantik-cantik (jadi, para bidadari tidak bisa menikmati surga karena mereka cuma budak seks di sana).”

“Akhirnya mereka semua diam bukan karena tidak mau ribut-ribut di depan orang mati, tapi karena ada makhluk di dekat yang tak bernyawa, yang bisa sesenggukan.”

“Bagi manusia hidup, masa lalu adalah bagian dari mereka sekarang. Karena itu, masa lalu sebenarnya tidak pernah lalu, karena selalu menjadi bagian masa depan. Namun bagiku, ia hanyalah sekumpulan kisah di mana aku adalah pemeran utamanya.”

“Lalu, apa hidup mereka bahagia setelah diselamatkan?" tanyaku."Tentu saja Mbak, kan mereka sudah selamat.""Apa mereka pasti bahagia hanya karena bisa hidup?""Saya yakin mereka akan menikmati hidup dan bersyukur karenanya.""Kok tahu?”

“Rupanya adat itu seperti bahasa. Ia diciptakan manusia dan kemudian ganti menciptakan mereka, sehingga akhirnya manusia harus menurut pada calo adat, ahli adat yang bisa menyuruh-nyuruh manusia.”

“mereka begitu sibuk mengecat kembali rumah-rumah yang warnanya telah pias dan mewarnai kain dengan sumba yang kental. Baju-baju yang warnanya pudar dibuang, diganti dengan yang lebih mencerang. Mungkin kepiasan mengingatkan mereka pada kematian. Karena itu, ia harus dihindari.”

“Bagi sel-sel ini, manusia layaknya alam semesta yang tak terjangkau, yang tak teraih, tak terlihat, tak dapat dipahami. Namun mereka dengan setia menjadi bagian dari kita, dan bekerja sama dengan seluruh milyaran sel lain demi hidup kita.”