“Percayalah, bila kamu tidak dapat mengalihkan perhatian pada hal lain yang fana..., dan hanya memikirkan kehidupan itu sendiri, kamu akan gila: karena ia akan mengalahkan dan merendahkanmu secara perlahan.”
“Setiap pagi, Mama merengkuhnya sambil berbisik di telinga: "Hiduplah Sara. Jangan menyerah" seolah ia tidak saja sedang menyalurkan suaranya pada telinga itu, tapi juga jiwanya. Ia menjadi litani yang berulang tanpa hentiHiduplah, Sara. Hiduplah...Namun suara-suara lain yang hidup. Kokok ayam, adzan menggelegar, disusul dengan gesekan sepatu di aspal, motor dan klaksin yang bertambah keras menggantikan litani yang makin sayup dan kemudian lenyap.”
“mereka begitu sibuk mengecat kembali rumah-rumah yang warnanya telah pias dan mewarnai kain dengan sumba yang kental. Baju-baju yang warnanya pudar dibuang, diganti dengan yang lebih mencerang. Mungkin kepiasan mengingatkan mereka pada kematian. Karena itu, ia harus dihindari.”
“Kebanyakan orang dapat bertahan hidup hanya jika mereka dapat melupakan realitas ini dan memusatkan diri ke yang lain: ke karier mereka, ke investasi, gelar, anak atau apa saja yang terlihat bertambah banyak.”
“Ia menceritakan kisah tentang surga, di mana para manusia yang saleh dapat hidup dengan nikmat, senikmat-nikmatnya. Mereka bisa mendapat makanan dan minuman berlimpah, bidadari yang cantik-cantik (jadi, para bidadari tidak bisa menikmati surga karena mereka cuma budak seks di sana).”
“Rupanya adat itu seperti bahasa. Ia diciptakan manusia dan kemudian ganti menciptakan mereka, sehingga akhirnya manusia harus menurut pada calo adat, ahli adat yang bisa menyuruh-nyuruh manusia.”
“Salah seorang menyempatkan menyapa: "Kamu kok pucat?"Tolong...aku mayat yang tersasar. Di dunia kehidupan.”