“Rupanya adat itu seperti bahasa. Ia diciptakan manusia dan kemudian ganti menciptakan mereka, sehingga akhirnya manusia harus menurut pada calo adat, ahli adat yang bisa menyuruh-nyuruh manusia.”
“Ia menceritakan kisah tentang surga, di mana para manusia yang saleh dapat hidup dengan nikmat, senikmat-nikmatnya. Mereka bisa mendapat makanan dan minuman berlimpah, bidadari yang cantik-cantik (jadi, para bidadari tidak bisa menikmati surga karena mereka cuma budak seks di sana).”
“mereka begitu sibuk mengecat kembali rumah-rumah yang warnanya telah pias dan mewarnai kain dengan sumba yang kental. Baju-baju yang warnanya pudar dibuang, diganti dengan yang lebih mencerang. Mungkin kepiasan mengingatkan mereka pada kematian. Karena itu, ia harus dihindari.”
“Demi hidup, segala upaya harus dilakukan. Termasuk menyiksa tubuh manusia.”
“Bagi manusia hidup, masa lalu adalah bagian dari mereka sekarang. Karena itu, masa lalu sebenarnya tidak pernah lalu, karena selalu menjadi bagian masa depan. Namun bagiku, ia hanyalah sekumpulan kisah di mana aku adalah pemeran utamanya.”
“Bagi sel-sel ini, manusia layaknya alam semesta yang tak terjangkau, yang tak teraih, tak terlihat, tak dapat dipahami. Namun mereka dengan setia menjadi bagian dari kita, dan bekerja sama dengan seluruh milyaran sel lain demi hidup kita.”
“Setiap pagi, Mama merengkuhnya sambil berbisik di telinga: "Hiduplah Sara. Jangan menyerah" seolah ia tidak saja sedang menyalurkan suaranya pada telinga itu, tapi juga jiwanya. Ia menjadi litani yang berulang tanpa hentiHiduplah, Sara. Hiduplah...Namun suara-suara lain yang hidup. Kokok ayam, adzan menggelegar, disusul dengan gesekan sepatu di aspal, motor dan klaksin yang bertambah keras menggantikan litani yang makin sayup dan kemudian lenyap.”