“Tuyul ini adalah makhluk halus--ia sudah mati tapi tampak hidup seperti anak normal. Hanya ia tidak bisa besar. Ia berada di alam kanak-kanak selamanya. Waduh, kan kayak Peter Pan?”
“kulihat kepulan hidupku yang terakhir, mendekati. Inilah kelebihan orang mati--ia bisa melihat wujud hidup.”
“Akhirnya mereka semua diam bukan karena tidak mau ribut-ribut di depan orang mati, tapi karena ada makhluk di dekat yang tak bernyawa, yang bisa sesenggukan.”
“Bagi manusia hidup, masa lalu adalah bagian dari mereka sekarang. Karena itu, masa lalu sebenarnya tidak pernah lalu, karena selalu menjadi bagian masa depan. Namun bagiku, ia hanyalah sekumpulan kisah di mana aku adalah pemeran utamanya.”
“Ia menceritakan kisah tentang surga, di mana para manusia yang saleh dapat hidup dengan nikmat, senikmat-nikmatnya. Mereka bisa mendapat makanan dan minuman berlimpah, bidadari yang cantik-cantik (jadi, para bidadari tidak bisa menikmati surga karena mereka cuma budak seks di sana).”
“Setiap pagi, Mama merengkuhnya sambil berbisik di telinga: "Hiduplah Sara. Jangan menyerah" seolah ia tidak saja sedang menyalurkan suaranya pada telinga itu, tapi juga jiwanya. Ia menjadi litani yang berulang tanpa hentiHiduplah, Sara. Hiduplah...Namun suara-suara lain yang hidup. Kokok ayam, adzan menggelegar, disusul dengan gesekan sepatu di aspal, motor dan klaksin yang bertambah keras menggantikan litani yang makin sayup dan kemudian lenyap.”
“Lalu, apa hidup mereka bahagia setelah diselamatkan?" tanyaku."Tentu saja Mbak, kan mereka sudah selamat.""Apa mereka pasti bahagia hanya karena bisa hidup?""Saya yakin mereka akan menikmati hidup dan bersyukur karenanya.""Kok tahu?”