“Daun yang jatuh tak pernak membenci angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan semuanya.”
“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus.Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.”
“Daun yang jatuh take pernah membenci angin”
“Semuanya tak ada yang berubah. Satu-satunya yang berubah adalah kita sendiri. Bukan karena kita bertambah umur atau apalah. Bukan begitu. Kita hanya menjadi berbeda, itu saja”
“ Hendaklah engkau jadi orang besar, yang sanggup memikul cinta yang besar. Kalau tak begitu, engkau akan beroleh cinta yang rendah dan murah, engkau menjadi pencium bumi, engkau akan jatuh ke bawah, tak jadi naik ke dalam benteng yang kuat dan teguh...yang sukar tertempuh oleh manusia biasa”
“Ini cuma sebuah laku bacalah, bukan bacakanlah. Bacalah adalah serupa bisikan, serupa gerimis hujan, desir angin, desir lokan, atau gemerisik dedaunan. Bacakanlah bagai teriakan, berpengeras suara bergema kemana-mana. Sebab bisikan lebih menggoda lebih menjamah lebih menggugah daripada teriakan. Sebab bisikan selalu jatuh lembut di telinga, tak seperti teriak yang menghantam pekak.Hanya membaca. Sebuah laku pribadi, hening sendiri, hanya dalam hati, sunyi tanpa bunyi. Ketika hanya ada satu benak yang menari dengan benak lain (malaikat jatuh, malaikat patuh, betapa tipisnya, keduanya hanya membuat manusia teramat manusia). Aku tak peduli, benak mana yang akan berbisik. Aku tak peduli, ada atau tiada makna, terserah saja.”