“Saya tetap menghormati beliau (Fazlur Rahman) sebagai salah seorang ilmuwan ulong zaman ini, khasnya dari tradisi falsafah ala Ibn Sina. Saya juga menyanjunginya sebagai seorang yang baik dan berdedikasi dalam perjuangannya walaupun saya tidak bersependapat dengannya. Sikap ini saya dapat secara praktis dari memerhatikan Prof Syed Muhammad Naquib al-Attas sejak 1988 hingga sekarang.”
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. ”
“Saya tak tahu, berapa waktu yang tersisa untuk saya. Satu jam, satu hari, satu tahun, sepuluh, lima puluh tahun lagi? Bisakah waktu yang semakin sedikit itu saya manfaatkan untuk memberi arti keberadaan saya sebagai hamba Allah di muka bumi ini? Bisakah cinta, kebajikan, maaf dan syukur selalu tumbuh dari dalam diri, saat saya menghirup udara dari Yang Maha?”
“Saya selalu percaya--dan ini lebih merupakan sesuatu yang mistis--bahwa hari esok akan lebih baik dari hari sekarang.”
“Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, seorang pemikir yang dikenal cukup baik oleh dunia pemikiran Barat maupun Islam, memandang problem terberat yang dihadapi manusia dewasa ini adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat yang mengarah pada kehancuran umat manusia. (Kebingungan Liberalisme, hal.3)”
“Salah satu yang paling saya takutkan terjadi pada diri saya adalah berprasangka buruk terhadap orang lain..., banyak menduga-duga, sehingga saya tidak produktif terhadap waktu saya dan sibuk mencari-cari keburukan orang itu, dari amal hingga kalbu-nya, wilayah yang hanya kuasa Allah semata.”