“Impian itu seperti sayap. Dia membawamu pergi ke berbagai tempat. Kurasa, mamamu sadar akan hal itu. Dia tahu, kalau dia mencegah mimpimu, itu sama aja dengan memotong sayap burung. Burung tersebut memang nggak akan lari, tapi burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi. Dan manusia tanpa mimpi, sudah bukan manusia lagi.”
“Dan dengan tidak terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan siang dan malam. Tapi masalah-masalah manusia tetap muda seperti waktu, Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia, kadang-kadang ia pergi lagi dan di tinggalkannya kepala dan dada itu kosong seperti langit. (Bukan Pasar Malam, 68)”
“Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia sedang mengeluarkan senjata terampuhnya, melainkan justru berarti dia sedang mengeluarkan senjata terakhirnya.”“Ketika wanita menangis, itu bukan berarti dia tidak berusaha menahannya, melainkan karena pertahanannya sudah tak mampu lagi membendung air matanya.”“Ketika wanita menangis, itu bukan karena dia ingin terlihat lemah, melainkan karena dia sudah tidak sanggup berpura – pura kuat”
“Dan mungkin juga pada hari itu, sebelah pintu hatinya seolah-olah sudah tertutup. Hinggakan hari ini, dia masih lagi berusaha keras menahan sebelah lagi pintu itu daripada ikut sama tertutup.”
“Jangan percaya terhadap cinta, karena itu akan menjajah hidup kamu! begitu kata Roy. Seorang petualang jiwanya tidak bisa dimiliki, karena dia butuh inspirasi. Kalau jiwanya sudah diikat, berarti dia akan beku dan mati. Baginya, cinta bukan berarti harus menjadi jangkar dalam hidupnya.”
“Tapi itu bukan yang gue mau, Mbak... itu semua gue kerjakan hanya untuk memenuhi kebutuhan duniawi, tapi gue ngerasa kosong, dan gue baru sadar kekosongan itu nggak akan bisa diisi sama segala sesuatu yang sifatnya material. Kekosongan itu harus diisi dengan... cinta.”