“Bagiku, hujan menyimpan senandung liar yang membisikan 1001 kisah.Tiap tetesnya yang merdu berbisik lembut, menyuarakan nyanyian alam yang membuatku rindu mengendus bau tanah basah.Bulir-bulir yang jatuh menapak diatas daun, mengalir lurus menyisakan sebaris air di dedaunan.Sejuk, mirip embun.Hidup seperti ini.Aku bisa merasakan senja yang bercampur bau tanah basah sepeninggal hujan.Seperti kanvas putih yang tersapu warna-warna homogen indah.Dentingan sisa-sisa titik hujan di atas atap terasa seperti seruling alam yang bisa membuatku memejamkan mata.Melodi hidup, aku menyebutnya seperti itu.Saat semua ketenangan bisa kudapatkan tanpa harus memikirkan apa pun.”
“Ada yang percaya bahwa di dalam hujan terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu sesuatu. Senandung rindu yang bisa meresonansi ingatan masa lalu.”
“Hujan menyisakan jejak basah. Seperti cintamu yang tertinggal disini. Selamanya.”
“Waktu itu semua sudah tidak ada yang bisa kuingat. Karena waktu itu kata-kata sudah seakan tidak berarti lagi. Yang ada di memoriku hanyalahwarna pekat. Kucari warna-waran lain , tidak pernah ada. Bahkan putih pun sudah seperti jelaga.”
“kau yang selalu bisa membuatku tertawa justru yang paling bisa membuatku menangis...”
“Meskipun aku suka sekali pohon ru, kuakui mereka seperti penjajah. Merekalah bukti betapa manusia telah menelantarkan bukit ini pada kuasa alam. Warna mereka hijau gelap, tak seperti pohon zaitun yang hijau kebiruan, dan mereka tinggi besar, seperti berusaha menguasai negeri di mana mereka menancapkan akar, memaksakan diri mereka atas bukit-bukit ini. Seperti pohon zaitun, akar mereka dekat dengan permukaan tanah, bentuknya bersimpul kemudian lurus seperti buku-buku jari. Kedua pohon itu sama-sama mengais demi sepetak tanah yang sama, sehingga sulit bagi keduanya untuk hidup berdampingan.”