“Betapa banyak nikmat yang aku lupakan dan aku anggap wajar dan biasa. Seakan-akan aku berhak mendapat nikmat itu tanpa usaha. Karena itu betapa sesatnya aku kalau sampai bermalas-malasan.”
“aku mencintaimu. dan itu ternyata menyakitkan. kamu tidak tahu betapa setiap kali kamu berpaling, aku sangat menderita. aku seperti orang yang sedang menoreh nadi dan meneteskan darah perlahan-lahan. semakin lama aku jadi semakin lemah hingga darah habis terkuras. karena itu aku pergi… aku harus menjauh darimu.”
“Aku hanya orang biasa, tetapi aku bekerja lebih keras daripada orang biasa.”
“Natsu tidak tertawa. ”Aku tidak pernah mengucapkan kalimat itu sebelumnya,” Natsu berkata, suaranya rendah. ”Aku selalu menunggu, sampai seseorang mengatakannya kepadaku – aku mencintaimu, Natsu – lalu aku akan menjawab, aku juga mencintaimu.” Natsu menarik nafas dan menghembuskannya pelan-pelan, seakan malu telah mengucapkan sebuah rahasia kepadaku. ”Menurutku itu hal paling indah yang bisa terjadi padaku. Aku bodoh ya?”
“Aku juga punya banyak hal yang ingin kukatakan padamu. Karena itu tunggulah aku disini”
“Rugi kalau stress, mending kita bekerja keras. Wali kelasku pernah memberi motivasi yang sangat mengena di hati. Katanya, kalau ingin sukses dan berprestasi dalam bidang apa pun, maka lakukanlah dengan prinsip 'saajtahidu fauzq mustawa al-akhar'. Bahwa aku akan berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain.”
“Mungkin beginilah seharusnya ujian disambut, sebuah perayaan terhadap ilmu. Dengan gempita. Selain itu, aku kira, pesta ujian yang meriah ini juga dibuat agar kami sekali-kali tidak boleh pernah takut apalagi trauma dengan ujian. Bahkan diharapkan kami kebal terhadap tekanan ujian dan bahkan bisa menikmati ujian itu. Apalagi ujian akan terus datang dalam berbagai rupa sampai akhir hayat kami.”