“seharusnya cinta itu membawa manusia kepaa cinta yang lebih besar, iaitu cinta Tuhan. disinilah terletaknya falsafah cinta. ia mesti berakhir dengan redha dan kasih sayang Allah. ia mesti dinoktahi dengan Syurga. jika rasa cinta itu hanya mendorong kepada maksiat, itu bukan cinta. itu hanya dusta.”
“Cinta itu hebat, bahkan lebih hebat dari dunia perkawinan itu. Doa adalah bagian penuturan cinta pada sebuah cita-cita yang belum kita capai. Dia bukan urusan Tuhan, melainkan urusan manusia. Dan Tuhan ada pada seberapa besar rasa cinta kita akan kebenaran itu. Nah, berdoalah dengan cinta, tapi jangan berdoa untuk cinta... Cinta itu dalam dirinya mengandung sebagian kecil rasionalitas, tapi penuh dengan benih rasa yang tidak perlu dihitung secara matematik mengapa dia ada.”
“Ertinya, Allah itu adalah penyebab yang mutlak kepada semua cinta manusia. Justifikasinya sangat jelas. Tidak boleh dinafikan lagi. Justeru jika ada sesuatu atau seseorang yang selain-Nya lebih kita cintai, maka itu menunjukkann kita salah dalam meletakkan cinta. Kita lari dari cinta yang besar kepada cinta yang kecil. Kita pinggirkan cinta yang agung kepada cinta yang kerdil.”
“Cinta? Itu mungkin hanya sebentuk permainan. Bermain itu memang mengasyikan. Cinta itu arena bermain, membutuhkan permainan, tapi bukan dipermainkan. Cinta yang harus diselesaikan. Dan menyelesaikan.”
“Adakalanya marah itu bukan marah, benci itu bukan benci. Hanya cinta yang diungkapkan dengan cara berbeda.”
“Cinta itu punya bentuk yang berbeda-beda. Terasa beda dengan setiap orang. Bukan berarti itu bukan cinta.”