“Meskipun aku suka sekali pohon ru, kuakui mereka seperti penjajah. Merekalah bukti betapa manusia telah menelantarkan bukit ini pada kuasa alam. Warna mereka hijau gelap, tak seperti pohon zaitun yang hijau kebiruan, dan mereka tinggi besar, seperti berusaha menguasai negeri di mana mereka menancapkan akar, memaksakan diri mereka atas bukit-bukit ini. Seperti pohon zaitun, akar mereka dekat dengan permukaan tanah, bentuknya bersimpul kemudian lurus seperti buku-buku jari. Kedua pohon itu sama-sama mengais demi sepetak tanah yang sama, sehingga sulit bagi keduanya untuk hidup berdampingan.”
“Banyak orang yang berharap dapat memutar kembali waktu karena penyesalan, sampai hanya itu yang tinggal di benak mereka. Sampai penyesalan menggerogoti jiwa mereka, sampai lama-kelamaan mereka mati bersamanya. Penyesalan, sama seperti hidup, sama seperti kenangan, adalah hal yang sangat mengerikan.”
“Mereka bagaikan mata-mata pena yang menari di atas lemabaran kertas yang sama, lembaran kertas hitam. Dan hanya keberuntungan yang bisa membuat kertas itu menjadi abu-abu, karena tidak mungkin membuatnya menjadi putih bersih. Jejak hitam itu tetap ada di jalan hidup mereka. Bagi anak-anak seperti mereka, hidup benar-benar seperti mata dadu di meja judi.”
“Saat mereka sudah sama-sama mengucapkan kata perpisahan, harusnya mereka bisa benar-benar berpisah dengan baik. Tidak ada penyesalan. Hidup semua orang akan kembali berjalan seperti seharusnya. Namun, harusnya ia tahu, hidup kadang tak berjalan sesuai yang mereka inginkan.”
“Ibuk dan Bapak tak pernah menentukan aturan kapan dan berapa lama anak-anak harus belajar. Isa dan adik-adiknya telah membuka hati mereka sendiri. Membuka buku mereka sendiri. Ibuk dan Bapak telah bekerja sepenuh hati untuk memenuhi kebutuhan sekolah mereka. Mungkin, anak-anak ini melihat kesungguhan hati orangtua mereka yang telah berjuang tak kenal lelah untuk lima anaknya. Mungkin, anak-anak ini telah merasakan keringat bapaknya menetes di kulit mereka. Mungkin, cinta Ibuk telah memasuki darah mereka, lewat bubur beras merah dan sinar matanya yang syahdu. Mungkin, anak-anak ini tersentuh oleh hidup Bapak dan Ibuk yang sederhana dan penuh keprihatinan. Isa dan adik-adiknya ingin berjuang seperti mereka. Ingin memberikan cinta yang penuh kepada orangtuanya.”
“Jadilah pohon dan jangan jadi rumput. Rumput itu tampaknya sama, sering diinjak-injak dan susah dikenali. Kalau pohon, meskipun kecil, tetapi akan tampak, mudah dikenali, dan bisa dijadikan sebagai tetenger atau patokan. Apalagi bila pohon itu besar, bisa menjadi peneduh orang di waktu panas. Bahkan bila sudah demikian besarnya, bisa jadi peneduh di kala hujan. Tambahan lagi, sebuah pohon yang besar selain memiliki daun yang rindang juga akan mempunyai batang yang kokoh dan akar yang kuat mencengkeram, susah dirobohkan sekalipun diterpa angin kencang. Jadilah pemimpin yang mengakar, seperti pohon. Untuk menjadi pohon yang baik seseorang harus terus memperkaya diri dengan ilmu dan kekayaan batin. -Sarwo Edhie Wibowo”