“Kesan pertama selalu manis – seperti sekeranjang aprikot segar berpadu dengan vanili dan gulali. Meskipun sudah diteguk habis, rasanya tersisa untuk waktu yang sangat lama, baik pahit maupun manis. Bagi saya, cinta yang sesungguhnya seperti itu.”
“Sebab Tuhan selalu punya cara yang indah untuk membuat hambaNya selalu tersenyum meski dalam tangis sekalipun. Bukankah kopi itu akan terasa pahit jika tak berkolaborasi dengan gula. Gula juga tak akan terasa nikmat jika tak bercampur dengan kopi. Maka pahit dan manis itu adalah karya alam yang sangat”
“Saya tak tahu, berapa waktu yang tersisa untuk saya. Satu jam, satu hari, satu tahun, sepuluh, lima puluh tahun lagi? Bisakah waktu yang semakin sedikit itu saya manfaatkan untuk memberi arti keberadaan saya sebagai hamba Allah di muka bumi ini? Bisakah cinta, kebajikan, maaf dan syukur selalu tumbuh dari dalam diri, saat saya menghirup udara dari Yang Maha?”
“Saya selalu mengira laki-laki seperti kamu pasti sering ngebullshit dengan mengucapkan kata cinta kepada siapa aja, bahwa kata itu tidak berarti untuk kamu, tidak seperti untuk saya.”
“Kakek, apakah cinta itu seperti musik?""Ya. Ia seperti musik, tetapi cinta sejati akan membuatmu selalu menari meskipun musiknya telah lama berhenti.”
“Kalau cinta diibaratkan seperti secangkir kopi hitam reguler, yang natural, seperti habitnya black coffee, cinta dengan obsesi yang mengkronis seperti secangkir capuccino—perpaduan espresso (ekstrak kopi yang lebih kuat, sekuat keyakinan yang membuat sebuah obesesi menjadi penyakit menahun) dan susu (hal-hal indah dan manis yang sesekali terjadi, tapi justru memperkuat perasaan itu).. ”